SEJARAH PERPUSTAKAAN DI INDONESIA
Perpustakaan lahir seiring dengan
tumbuhnya peradaban manusia, utamanya baca tulis. Kemajuan peradaban manusia,
berdampak pula pada perkembangan perpustakaan baik jenis, sistem,
kepemilikan ataupun hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan perpustakaan.
Awal berdirinya perpustakaan, dimulai ketika manusia mengenal tulisan, bahan
tulisan dan alat tulis. Sehingga tidak berkelebihan, kalau dikatakan bahwa
sejarah perpustakaan sama tuanya dengan usia peradaban manusia, semenjak mereka
mengenal baca tulis. Berbagai media yang digunakan untuk kegiatan tulis
menulis, antara lain : batu, pelepah, tanah liat, parchmen yang terbuat
dari kulit domba atau sapi yang dikeringkan. Beberapa parchmen yang
disatukan, disebut dengan istilah codex.
Perkembangan perpustakaan di
berbagai negara (Suwarno, 2007), antara lain dapat dilacak dari apa yang
dilakukan oleh bangsa Sumeria dan Babylonia. Sekitar tahun 3000 SM, bangsa
Sumeria telah menyalin rekening, jadwal kegiatan pengetahuan yang
dimilikinya, dalam bentuk lempeng tanah liat (clay tablets) dan tulisan
yang digunakan berujud gambar (pictograph). Ketika kemudian Sumeria
ditaklukan oleh Babylonia, disamping kebudayaannya diserap, maka bentuk
tulisannyapun diubah menjadi tulisan paku (cunciform).
Di Mesir, perpustakaan juga
mengalami perkembangan yang signifikan. Teks tertulis yang tersimpan di
perpustakaan Mesir, diduga ditulis sekitar tahun 4000 SM dengan gaya tulisan
yang disebut hieroglyph. Perpustakaan di Mesir semakin berkembang,
manakala sekitar tahun 1200 SM diketemukan papyrus,yang dapat digunakan
sebagai media untuk tulis menulis. Papyrus dibuat dari sejenis rumput
yang dihaluskan dan dikeringkan, dan dari kata itulah kemudian
berkembang istilah paper, papiere, papiros, yang berarti kertas
(Suwarno, 2007).
Aristoteles ditengarai sebagai orang
yang pertama kali mengumpulkan, menyimpan dan memanfaatkan budaya masa lalu di
Yunani. Perkembangan perpustakaan di negeri ini, dikenal melalui perpustakaan
milik Peistratus (Athena/abad ke 6), Polyerratus (Samos/abad ke 7), dan
Pericles, sekitar abad ke 5. Peradaban Yunani mengenal jenis tulisan yang
dikenal sebagai mycena (1500 SM), dan kemudian digantikan oleh 22 huruf
temuan orang Phoenicia, yang dalam pekembangannya berubah menjadi 26 huruf
sebagaimana yang digunakan saat ini.
Perpustakaan juga diketahui
berkembang di Romawi, Eropa Barat dan Amerika Utara. Perkembangannya menjadi
semakin cepat, sejak ditemukan mesin cetak pada abad pertengahan. Johannes
Gutenberg dari Jerman, adalah orang yang memelopori cara penulisan dengan
menggunakan mesin cetak, untuk mengganti teknik penulisan yang sebelumnya
menggunakan tangan. Sejalan dengan teknologi yang berkembang pada saat
itu, produksi buku yang dihasilkan bentuknya masih sangat sederhana. Dengan
teknik yang disebut ugari, bentuk buku yang diproduksi menjadi barang
langka dan dikenal sebagai incunabula (Sulistyo-Basuki dalam Suwarno,
2007).
Revolusi industri yang terjadi di
Eropa, menjadi pemantik berkembangnya perpustakaan. Pesatnya perkembangan
teknologi dan sistem yang lebih modern, mempercepat penyebaran perpustakaan ke
seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Periodesasi Perkembangan
Perpustakaan di Indonesia
a. Era Sebelum
Penjajahan
Bangsa Indonesia sejak lama telah
mengenal peradaban baca tulis. Prasasti Yupa di Kutai Kalimantan Timur yang
diperkirakan berasal dari abad ke V Masehi, merupakan bukti sahih tentang
keberadaan peradaban tersebut (Almasyari, 2007).
Pada era kerajaan Hindu-Budha,
banyak lahir mahakarya para empu seperti Negarakertagama, Arjunawiwaha,
Mahabharata, Ramayana, Sutasoma dll. Karya-karya tersebut merupakan hasil
interaksi antara kebudayaan khas Indonesia dengan budaya asing, utamanya India.
Pada saat itu kerajaan-kerajaan telah memiliki semacam pustaloka, yakni tempat
untuk menyimpan beragam karya sastra ataupun kitab-kitab yang ditulis oleh para
pujangga. Hanya saja, pemanfaatan naskah-naskah tersebut bukan untuk konsumsi
masyarakat umum, melainkan lebih banyak untuk keperluan raja dan para
kerabatnya (Sumiati dan Arief, 2004).
Perkembangan perpustakaan mengalami
pasang naik di era kerajaan Islam. Masuknya budaya Arab termasuk baca dan
tulis, yang kemudian berinteraksi dengan kebudayaan Melayu semakin
memperkaya khasanah budaya Indonesia. Pada masa ini banyak dihasilkan
karya-karya besar para pujangga, seperti kitab Bustanus Salatin, Hikayat
Raja-Raja Pasai, Babad Tanah Jawi dll. Kitab-kitab tersebut biasanya disimpan
di dekat keraton atau masjid, yang menjadi pusat aktivitas kerohanian dan
kebudayaan.
b. Era Pemerintahan
Hindia- Belanda
Masuknya bangsa Belanda dengan
membawa teknologi bidang percetakan, semakin mempercepat perkembangan
budaya baca tulis di Indonesia. Di samping mendatangkan mesin cetak, mereka
membangun gedung perpustakaan di beberapa daerah. Salah satu yang sampai sekarang
masih eksis, adalah Kantoor voor de Volkslektuur yang kemudian berganti
nama menjadi Balai Pustaka.
Pada tahun 1778, Bataviaasch
Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen mendirikan perpustakaan yang
mengkhususkan pada bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, yang kemudian pada
tahun 1950 diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, dan dinamakan Lembaga
Kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangannya, pada tahun 1989 organisasi ini
melebur menjadi bagian dari Perpustakaan Nasional Indonesia. Perpustakaan
lain yang didirikan adalah Bibliotheca Bogoriensis, dengan fokus pada
bidang biologi dan pertanian praktis. Perkembangan perpustakaan di beberapa
daerah, antara lain dijumpai di Probolinggo (1874), Semarang (1876), Yogyakarta
(1878), Surabaya (1879), Bandung dan Salatiga (1891). Pada tahun 1916,
perpustakaan-perpustakaan yang ada disatukan menjadi Vereeniging tot
bevordering van het bibliotheekwezen, atau perkumpulan untuk memajukan
perpustakaan di Hindia Belanda.
Semasa pemerintah Belanda
menjalankan politik etis, Commissie voor de Volkslektuur merupakan
lembaga yang berperan dalam pemberdayaan perpustakaan. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan, antara lain menambah jumlah perpustakaan di desa dan sekolah kelas
dua di Jawa dan Madura, melengkapi koleksinya dengan terbitan-terbitan dalam
bahasa Jawa, Sunda, Melayu dan Madura. Dalam perkembangannya, hal tersebut
kemudian memicu para pengusaha pribumi untuk membentuk lembaga penerbitan, yang
dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan perpustakaan di Indonesia (Almasyari,
2007).
c. Era Pemerintahan
Jepang
Ketika Jepang menguasai Indonesia,
mereka mengeluarkan kebijakan berupa larangan penggunaan buku-buku yang ditulis
dalam bahasa Inggris, Belanda dan Perancis di sekolah-sekolah. Akibatnya,
banyak buku terutama yang menggunakan bahasa Belanda dimusnahkan. Kondisi ini
justru menguntungkan bagi perkembangan perpustakaan di Indonesia, karena dengan
kebijakan tersebut buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia jumlahnya
menjadi semakin meningkat. Beberapa surat kabar yang terbit dengan menggunakan
bahasa Indonesia pada saat itu, antara lain Suara Asia, Cahaya Asia dll.
d. Era Pemerintahan
Republik Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, di tengah
konsentrasi untuk mempertahankan kemerdekaan dari invasi pasukan Inggris dan
Belanda, serta kesibukan menghadapi pemberontakan di beberapa daerah, pada
tahun 1948 pemerintah mendirikan Perpustakaan Negara Republik Indonesia di
Yogyakarta. Banyaknya permasalahan yang harus dihadapi, mengakibatkan lambatnya
perkembangan perpustakaan di Indonesia. Ketika kondisi negara mulai mapan, pada
kurun waktu tahun 1950-1960 pemerintah Republik Indonesia mulai mengembangkan
perpustakaan melalui pendirian Taman Pustaka Rakyat /TPR (Sumiati dan Arief,
2004). Ada tiga tipe Taman Pustaka Rakyat :
- Tipe A untuk pedesaan, dengan komposisi koleksi 40 % bacaan setingkat SD dan 60 % setingkat SMP
- Tipe B untuk kabupaten, dengan komposisi koleksi 40 % bacaan setingkat SMP dan 60 % bacaan setingkat SMA
- Tipe C untuk provinsi, dengan komposisi koleksi 40 % bacaan setingkat SMA dan 60 % bacaan setingkat Perguruan Tinggi.
Pada tahun 1956, berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 29103,
Pepustakaan Negara didirikan di beberapa wilayah di Indonesia. Pendirian
perpustakaan tersebut dimaksudkan antara lain untuk membantu perkembangan
perpustakaan dan menyelenggarakan kerjasama antar perpustakaan yang ada.
Perhatian Pemerintah terhadap pengembangan perpustakaan terus meningkat, dan
pada tahun 1969 dialokasikan dana untuk mendirikan Perpustakaan Negara di 26
Provinsi. Lembaga tersebut difungsikan sebagai Perpustakaan Wilayah, di bawah
binaan Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Berdasarkan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 0164/0/1980, pada tahun 1980
didirikan Perpustakaan Nasional, sebagai Unit Pelaksana Teknis bidang
perpustakaan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kartosedono
(Sumiati dan Arief, 2004) menyatakan bahwa Perpustakaan Nasional merupakan
hasil integrasi dari Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial, Bidang
Bibliografi dan Deposit Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Museum Nasional dan Perpustakaan
Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Dalam perkembangannya, melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.11 Tahun 1989, Perpustakaan Nasional
yang kala itu merupakan unit pelaksana teknis di lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang
langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Pembentukan organisasi ini merupakan
penggabungan antara Perpustakaan Nasional dengan Perpustakaan Wilayah yang ada
di 27 provinsi. Pada tahun 1997 berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 50, Perpustakaan Nasional diubah namanya menjadi Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, yang berlaku sampai dengan saat ini.
Seiring dengan diberlakukannya
Otonomi Daerah, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun
2000, Perpustakaan Nasional Provinsi menjadi perangkat daerah, dengan sebutan
Perpustakaan Umum Daerah. Mulai saat itu penyelenggaraan perpustakaan
diserahkan kepada kebijakan Pemerintah Daerah masing-masing. Kemudian dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan,
diharapkan perkembangan perpustakaan di Indonesia menjadi semakin meningkat,
karena adanya payung hukum yang kokoh.
SEJARAH PERPUSTAKAAN DUNIA
Perpustakaan merupakan simbol
kemajuan peradaban umat manusia yang mulai memahami dan mengerti betapa
pentingnya penyimpanan berbagai informasi dan ilmu
pengetahuan guna kepentingan umat manusia. Perpustakaan ada atau
terbentuk secara tidak langsung ketika manusia mulai melakukan kegiatan
penulisan atau penggambaran melalui benda – benda seperti batu, kayu, gua – gua
sehinggga mampu terbaca atau terkomunikasikan dengan manusia
lainnya.Perkembangan perpustakaan seiring dengan berkembangnya pola pikir
manusia dan teknologi menjadikan perpustakaan tidak hanya sekedar sebagai ruang
arsip atau penyimpanan akan tetapi lebih condong pada penyebaran informasi yang
penekanannya pada ilmu pengetahuan. Besarnya kontribusi perpustakaan terhadap
peradaban manusia menjadikan perpustakaan aset yang sangat penting bagi umat
manusia dan bangsa – bangsa yang peduli terhadap sejarah dan ilmu pengetahuan.
Sepatutnya kita mengetahui sejarah atau munculnya perpustakaan yang ada di
dunia.
SUMERIA DAN BABYLONIA
Perpustakaan sedah dikenal sejak
3000 tahun yang lalu. Penggalian di bekas kerajaan Sumeria menunjukkan bahwa
bangsa Sumeria sekitar 3000 tahun sebelum Masehi telah menyalin rekening,
jadwal kegiatan, pengetahuan yang mereka peroleh dalam bentuk lempeng tanah
liat(clay tablets). Tulisan yang dpergunakan masih berupa gambar (pictograph),
kemudian ke aksara Sumeria. Kebudayaan Sumeria termasuk kepercayaan , praktek
keagamaan, dan tulisan Sumeria, kemudian diserap oleh Babylonia yang
menaklukkan Sumeria. Tulisan Sumeria kemudian diubah menjadi tulisan paku
(cuneiform) karena mirip paku. Semasa pemerintahan raja Ashurbanipal dan
Assyria (sekitar tahun 668-626 sebelum Masehi) didirikan Perpustakaan kerajaan
di ibukota Niniveh, berisi puluhan ribu lempeng tanah liat yang dikumpulkan
dari segala penjuru kerajaan. Untuk mencatat koleksi digunakan system subjek
serta tanda pengenal pada tempat penyimpanan. Banyak dugaan bawa Perpustakaan
ini terbuka bagi kawula kerajaan.
MESIR
Pada masa yang hampir bersamaan,
peradaban Mesir Kuno pun berkembang. Teks tertulis paling awal yang ada di
Perpustakaan Mesir berasal dari sekitar tahun 40000 SM, namun gaya tulisannya
berbeda dengan tulisan sumeria. Orang Mesir menggunakan tulisan yang disebut
hieroglyph. Tujuan heroglyph ialah memahatkan pesan terakhir di monumen karena
tulisan dimaksudkan untuk mengagungkan raja sedangkan tulisan yang ada di
tembok dan monument dimaksudkan untuk memberi kesan kepada dunia. perpustakaan
Mesir bertamabah maju berkat penemuan penggunaan rumput papyrus sekitar
tahun1200 SM. Untuk membuat lembar papyrus maka isi batang papyrus dipotong
menjadi lembaran tipis, kemudian dibentangkan satu demi satu dan tumpuk demi
tumpuk. Kedua lapisa kemudia dilekatkan dengan lem, ditekan, diratakan, dan
dipukul sehingga permukaannya rata. Dengan demikian, permukaan lembaran papyrus
dapat digunakan sebagai bahan tulis, sedangkan alat tulisnya berupa pena sapu
dan tinta. Umumnya tulisan Hierolgyph hanya dipahami oleh pendeta karena itu
papyrus banyak ditemukan di kuil-kuil brisi pengumuman resmi, tulisan
keagamaan, filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Pengembangan perpustakaan
Mesir terjadi semasa raja Khufu, Khafre, dan Ramses II sekitar tahun 1250 SM.
Perpustakaan raja Ramses II memiliki sekitar 20.000 buku.
YUNANI
Peradaban Yunani mengenal tulisan
Mycena sekitar tahun 1500 SM, kemudian tulisan tersebut lenyap. Sebagai
penggantinya, orang Yunani menggunakan 22 aksara temuan orang Phonicia,
kemudian dikembangkan 26 aksara seperti yang kita kenal dewasa ini. Yunani
mulai mengenal Perpustakaan milik Peistratus (dari Athena) dan Polyerratus
(dari Samos) sekitar abad ke-6 dan ke-7 SM. Perpustakaan berkembang pula semasa
kejayaan Yunani dibawah pimpinan Pericles sekitar abad ke-5 SM. Pada saat itu,
membaca merupakan pengisi waktu senggang serta merupakan awal dimulainya
perdagangan buku. Filosof Aristoteles dianggap sebagai orang pertam kali yang
mengumpulkan,menyimpan, dan memanfaatkan budaya masa lalu. Koleksi Aristotels
kelak dibawa ke Roma.
Perkembangan perpustakaan zaman kuno
Yunani mencapai puncaknya semasa Abad Hellenisme, yang ditandai dengan
penyebaran ajaran dan kebudayaan Yunani. Ini terjadi berkat penaklukan
Alexander Agung beserta penggantinya, pembentukan kota baru Yunani. Dan
pemngembangan pemerintahan Monarchi. Perpustakaan utam terletak di kota
Alexandria, Msir, dan kota pergamum, di Asia Kecil. Di Kota Alexandria
berdiarilah sebuah Museum, salah satu bagian utamnya ialah Perpustakaan dengan
tujuan mengumpulkan teks Yunani dan manuskrip segala bahasa dari semua penjuru.
Berkat usahan Demetrius dari Phalerum, perpustakaan Alexandria berkembang pesat
sehingga memiliki 200.000 gulungan papyrus hingga natinya mencapai 700.000
gulungan pada abad pertama SM. Perpustakaan kedua disebut Serapeum, memiliki
42.800 gulungan terpilih, kelak berekembang hingga 100.000 gulungan. Semua
gulungan papyrus ini disunting, disusun, menurut bentuknya, dan diberi catatan
untuk disusun menjadi sebuah bibliografi sastra Yunani berjumlah 120 jilid.
Di Asia kecil kota Pergamum, seperti
halnya Alexandria berkembang menjadi pusat belajar serta kegiatan sastra. Pada
abad ke-2 SM, Eumenes II mendirikan sebuah Perpustakaan serta mulai
mengumpulkan semua manuskrip, bahkan bila perlu membuat salinan manuskrip lain.
Untuk menyalin ini digunakan sejumlah besar papyrus yang diimpor dari Mesir.
Karena khawatir persediaan papyrus di Mesir akan habis serta rasa iri akan
pesaingnya maka raja Mesir menghentikan ekspor papyrus ke Pergamum. Akibatnya,
perpustakaan Pergamum harus mencari bahan tulis lain kecuali papyrus. Maka
dikembangkanlah bahan tulis baru yang disebut perchamen artinya kulit binatang,
terutama biri-biri atau anak lembu. Sebenarnya bahan tulis ini sudah lama
dikenal Yunani, namun karena harganya lebih mahal dari papyrus maka papiruslah
yang digunakan. Parchmen dikembangkan sehingga akhirnya menggantikan papyrus
sebagai bahan tulis hingga penemuan mesin cetak pada abad menengah. Koleksi
perpustakaan Pergamum mencapai 100.000 gulungan. Dalam perkembangannya, koleksi
perpustakaan Pergamum nantinya diserahkkan ke Perpustakaan Alexandria sehingga
Perpustakaan Alxandria menjadi Perpustakaan terbsar pada zamannya.
ROMA
Yunani mempengaruhi kehidupan budaya
dan intelektual Roma. Ini terbukti bahwa banyak orang Roma mempelajari sastra,
filsafat, dan ilmu pengetahuan Yunani, bahkan juga bertutur bahasa Yunani.
Perpustakaan pribadi mulai tumbuh karena perwira tinggi banyak yang membawa
rampasan perang termasuk buku. Julius Caesar bahkan memerintahkan agar
Perpustakaan terbuka untuk umum. Perpustakaan kemudian tersebar ke seluruh
bagian kerajaan Roma. Pada masa ini diganti dengan codec, yang merupakan kumpulan
parchmen, diikat serta dijilid menjadi satu sperti buku yang kita kenaldewasa
ini. Codex mulai digunakan secara besar-besaran abad ke-4. Perpustakaan mulai
mengalami kemunduran tatkala kerajaan Roma mulai mundur. Akhirnya, yang tinggal
hanyalah Perpustakaan biara, yang lainnya lenyap akibat serangan orang-orang
barbar.
BYZANTIUM
Kaisar Konstantin Agung menjadi raja
Kerajaan Roma barat dan Timur pada tahun 324. Ia memilih ibukota di Byzantium
kemudian diubah menjadi Konstantinopel. Ia mendirikan Perpustakaan kerajaan
serta menekankan karya Latin karena bahasa Latin merupakan bahasa resmi hingga
adad ke-6. Koleksi ini nanti ditambah dengan karya orang Kristen dan
non-Kristen, baik dalam bahasa Yunani maupun Latin. Koleksinya tercatat hingga
120.000 buku. Pada waktu itu gereja merupakan pranata kerajaan paling penting.
Karena adanya ketentuan bahwa seorang uskup harus memiliki sebuah perpustakaan
maka perpustakaan gereja berkembang. Kerajaan Byzantium kaya, berpenduduk
padat, secara kultural, intelektual dan politiknya cukup matang yang diperkaya
oleh ajaran Yunani dan Timur serta dipengaruhi tradisi Roma dalam pemerintahan.
Kerajaan in bertahan hingga abad ke-15. Antara pertengahan abad ke tujuh hingga
pertengahan abad ke-9 terjadi kontoversi mengenai ikonoklasme yaitu
penggambaran Yesus dan orang kudus lainnya pada benda. Akibat larangan ini
banyak biara ditutup, artanya disita. Akibatnya lagi, biarawan Yunani mengungsi
ke Italia. Selam periode ini, hiasan manuskrip dengan menggunkan huruf rias, gulungan
maupun miniatur tidak disgunakan dalam karya keagamaan maupun Bibel. Setelah
kontroversi berakhir, minat terhadap karya Yunani kuno berkembang lagi. Selama
300 tahun karya Yunani disalin, ditulis kembali, diberi komentar, dibuatkan
ringkasan sastra Yunani bahkan juga dikembangkan ensiklopedia dan leksikon
mengenai Yunani.
ARAB
Agama Islam muncul pada abad
ke-7. Islam kemudian mulai menyebar ke daerah sekitar Arab. Dengan cepat
pasukan Isam menguasai Syria, Babylonia, Mesopotamia, Persia, Mesir, seluruh
bagian utara Afrika, serta menyeberang ke Spanyol. Orang Arab berhasil dalam
bidang Perpustakaan dan berjasa besar dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan
matematika ke Eropa.
Dalam Abad ke-8 dan ke-9, tatkala
Konstantinopel mengalami kemandegan dalam hal karya sekuler maka Bagdad
berkembang sebagai pusat kajian karya Yunani. Ilmuwan Muslim mulai memahami
pikiran Aristoteles. Ilmuwan Muslim mengkaji dan menerjemahkan karya filsafat,
pengetahuan dan kedokteran Yunani ke dalam bahasa Arab; kadang-kadang dari
versi bahasa Syriac ataupun Aramaic. Puncak kejayaan terjemahan ni terjadi
semas pemerintahan Abbasid Al-Mamun, yang menidrikan rumah kebijakan pada tahun
810, sebuah lembaga studi yang menggabungkan unsure perpustakaan, akademi, dan
biro terjemahan. Selam abad ke-8, ilmu alam, matematika, dan kedokteran
benar-benar dipelajari, karya Plato, Aristoteles, Hippocrates, dan Galen
diterjamahkan ke dalam bahasa Arab, termasuk pula penelitian asli dalam bidang
astrologi, alkhemi, dan magis. Dalam penaklukan ke timur, orang Arab berhasil
mengetahui cara pembuatan kertas dari orang Cina; pada abad ke-8 di Bagdad
telah berdiri pabrik kertas. Teknik pembuatan kertas selama hamper lima adab
dikuasai orang Arab. Karena harganya murah, banyak, serta mudah ditulis maka produksi
buku melonjak dan Perpustakaan pun berkembang. Tercatat perpustakaan mesjid dan
lembaga pedidikan. Perpustakaan kota Shiraz memiliki catalog, disusun menurut
tempat serta dikelola oleh staf perpustakaan. Pada abad ke-11, Perpustakaan
Kairo memiliki sekitar 150.000 buku.
Di Spanyol, orang Arab mendirikan
Perpustakaan Cordoba yang memiliki 400.000 buku. Di Perpustakaan Cordoba,
Toledo, dan Seville karya klasik diterjemahkan ke bahasa Arab dari bahasa
Syriac. Ketika Spanyol direbut tentara Kristen, ribuan karya klasik ini
diketemukan, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin kemudian disebar ke
seluruh Eropa.
RENAISSANCE
Renaissance mula pada abad ke-14 di
Eropa Barat. Secara tidak langsung.Renaissance tumbuh akibat pengungsian
ilmuwan Byzantine dari Konstantinope. Mereka lari karena ancaman pasukan
Ottoman dari Turki. Sambil mengungsi, ilmuwan ini membawa juga manuskrip
penulis kuno. Ilmuwan Italia menyambut kedatangan ilmuwan Byzantine ini serta
mendorong pengembangan kajian Yunani dan Latin. Karya ini kemudian tersebar ke
Eropa Utara dan Barat, sebagian diantarnya disimpan di Perpustakaan biara
maupun universitas yang mulai tumbuh.
Kesimpulan
Manusia memang tidak bisa lepas dari
sejarah dan masa lalu, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan
peduli terhadap sejarah sebagai upaya untuk kemajuan bangsa dan negaranya dan
menunjukkan identitas diri. Anggapan perpustakaan hanya sekedar simbol
sebagai kemajuan ilmu pengetahuan memang ada benarnya, namun pemanfaatan
perpustakaan secara maksimal akan menjadikan
perpustakaan tidak hanya sekedar simbol saja namun memiliki peran
utama dalam kemajuan bangsa dan negara dalam bidang ilmu pengetahuan.
Setiap negara memiliki sejarah perkembangan perpustakaan yang berbeda.
Setiap negara memiliki sejarah perkembangan perpustakaan yang berbeda.
Daftar Pustaka
Lasa Hs. 2009. Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Laugu, Nurdin.2011. Islam dan Ilmu Keadaban: 50 Tahun Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga.Yogyakarta: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dan Penerbit Belukar.
Nurhadi, Muljani A.1983. Sejarah Perpustakaan dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta:Andi Offset.
Qalyubi, Syihabuddin, dkk (Ed). 2007. Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .
Sulistyo-Basuki. 1994. Periodesasi Perpustakaan Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tambahan Materi
Sejarah Perpustakaan di Indonesia
Sejarah perpustakaan di Indonesia tergolong masih muda jika dibandingkan dengan negara Eropa dan Arab. Jika kita mengambil pendapat bahwa sejarah perpustakaan ditandai dengan dikenalnya tulisan, maka sejarah perpustakaan di Indonesia dapat dimulai pada tahun 400-an yaitu saat lingga batu dengan tulisan Pallawa ditemukan dari periode Kerajaan Kutai. Musafir Fa-Hsien dari tahun 414 Menyatakan bahwa di kerajaan Ye-po-ti, yang sebenarnya kerajaan Tarumanegara banyak dijumpai kaum Brahmana yang tentunya memerlukan buku atau manuskrip keagamaan yang mungkin disimpan di kediaman pendeta.
Pada sekitar tahun 695 M, menurut musafir I-tsing dari Cina, di Ibukota Kerajaan Sriwijaya hidup lebih dari 1000 orang biksu dengan tugas keagamaan dan mempelajari agama Budha melalui berbagai buku yang tentu saja disimpan di berbagai biasa.
Di pulau Jawa, sejarah perpustakaan tersebut dimulai pada masa Kerajaan Mataram. Hal ini karena di kerajaan ini mulai dikenal pujangga keraton yang menulis berbagai karya sastra. Karya-karya tersebut seperti Sang Hyang Kamahayanikan yang memuat uraian tentang agama Budha Mahayana. Menyusul kemudian Sembilan parwa sari cerita Mahabharata dan satu kanda dari epos Ramayana. Juga muncul dua kitab keagamaan yaituBrahmandapurana dan Agastyaparwa. Kitab lain yang terkenal adalah Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa.
Dari uraian tersebut nyata bahwa sudah ada naskah yang ditulis tangan dalam media daun lontar yang diperuntukkan bagi pembaca kalangan sangat khusus yaitu kerajaan. Jaman Kerajaan Kediri dikenal beberapa pujangga dengan karya sastranya. Mereka itu adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha. Selain itu Mpu panuluh juga menggubah kitab Hariwangsa dan kitabGatotkacasrayya. Selain itu ada Mpu Monaguna dengan kitab Sumanasantaka dan Mpu Triguna dengan kitamKresnayana.
Semua kitab itu ditulis diatas daun lontar dengan jumlah yang sangat terbatas dan tetap berada dalam lingkungan keraton. Periode berikutnya adalah Kerajaan Singosari. Pada periode ini tidak dihasilkan naskah terkenal. Kitab Pararaton yang terkenal itu diduga ditulis setelah keruntuhan kerajaan Singosari. Pada jaman Majapahit dihasilkan dihasilkan buku Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Sedangkan Mpu Tantular menulis buku Sutasoma. Pada jaman ini dihasilkan pula karya-karya lain seperti Kidung Harsawijaya,Kidung Ranggalawe, Sorandaka, dan Sundayana.
Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah masih terus dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar di Nusantara. Misalnya, jaman kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Demak, Banten, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa. Dari Cerebon diketahui dihasilkan puluhan buku yang ditulis sekitar abad ke-16 dan ke-17. Buku-buku tersebut adalah Pustaka Rajya-rajya & Bumi Nusantara (25 jilid), Pustaka Praratwan (10 jilid), Pustaka Nagarakretabhumi (12 jilid), Purwwaka Samatabhuwana (17 jilid), Naskah hukum (2 jilid), Usadha (15 jilid), Naskah Masasastra (42 jilid), Usana (24 jilid), Kidung (18 jilid), Pustaka prasasti (35 jilid), Serat Nitrasamaya pantara ning raja-raja (18 jilid), Carita sang Waliya (20 jilid), dan lainlain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Cirebon merupakan salah satu pusat perbukuan pada masanya. Seperti pada masamasa sebelumnya buku-buku tersebut disimpan di istana.
Kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16 membawa budaya tersendiri. Perpustakaan mulai didirikan mula-mula untuk tujuan menunjang program penyebaran agama mereka. Berdasarkan sumber sekunder perpustakaan paling awal berdiri pada masa ini adalah pada masa VOC (Vereenigde OostJurnal Indische Compaqnie) yaitu perpustakaan gereja di Batavia (kini Jakarta) yang dibangun sejak 1624. Namun karena beberapa kesulitan perpustakaan ini baru diresmikan pada 27 April 1643 dengan penunjukan pustakawan bernama Ds. (Dominus) Abraham Fierenius. Pada masa inilah perpustakaan tidak lagi diperuntukkan bagi keluarga kerajaan saja, namun mulai dinikmati oleh masyarakat umum. Perpustakaan meminjamkan buku untuk perawat rumah sakit Batavia, bahkan peminjaman buku diperluas sampai ke Semarang dan Juana (Jawa Tengah). Jadi pada abad ke-17 Indonesia sudah mengenal perluasan jasa perpustakaan (kini layanan seperti ini disebut dengan pinjam antar perpustakaan atau interlibrary loan). Lebih dari seratus tahun kemudian berdiri perpustakaan khusus di Batavia. Pada tanggal 25 April 1778 berdiri Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. Bersamaan dengan berdirinya lembaga tersebut berdiri pula perpustakaan lembaga BGKW. Pendirian perpustakaan lembaga BGKW tersebut diprakarsai oleh Mr. J.C.M.
Rademaker, ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda). Ia memprakarsai pengumpulan buku dan manuskrip untuk koleksi perpustakaannya. Perpustakaan ini kemudian mengeluarkan katalog buku yang pertama di Indonesia yaitu pada tahun 1846 dengan judul Bibliotecae Artiumcientiaerumquae Batavia Florest Catalogue Systematicus hasil suntingan P. Bleeker. Edisi kedua terbit dalam bahasa Belanda pada tahun 1848. Perpustakaan ini aktif dalam pertukaran bahan perpustakaan. Penerbitan yang digunakan sebagai bahan pertukaran adalah Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschapn van Kunsten en Wetenschappen, Jaarboek serta Werken buiten de Serie. Karena prestasinya yang luar biasa dalam meningkatkan ilmu dan kebudayaan, maka namanya ditambah menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Nama ini kemudian berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada tahun 1950.
Pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanyapun diubah menjadi Museum Pusat. Koleksi perpustakaannya menjadi bagian dari Museum Pusat dan dikenal dengan Perpustakaan Museum Pusat. Nama Museum Pusat ini kemudian berubah lagi menjadi Museum Nasional, sedangkan perpustakaannya dikenal dengan Perpustakaan Museum Nasional.
Pada tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1989 ketika Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur sebagai bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Sesudah pembangunan BKGW, berdirilah perpustakaan khusus lainnya seiring dengan berdirinya berbagai lembaga penelitian maupun lembaga pemerintahan lainnya. Sebagai contoh pada tahun 1842 didirikan Bibliotheek’s Lands Plantentuin te Buitenzorg. Pada tahun 1911 namanya berubah menjadiCentral Natuurwetenchap-pelijke Bibliotheek van het Departement van Lanbouw, Nijverheid en Handel. Nama ini kemudian berubah lagi menjadi Bibliotheca Bogoriensis. Tahun 1962 nama ini berubah lagi menjadi Pusat Perpustakaan Penelitian Teknik Pertanian, kemudian menjadi Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian. Perpustakaan ini berubah nama kembali menjadi perpustakaan ini bernama Perpustakaan Pusat Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Kini perpustakaan ini bernama Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Hasil-hasil Penelitian. Setelah periode tanam paksa, pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik etis untuk membalas ”utang” kepada rakyat Indonesia. Salah satu kegiatan politik etis adalah pembangunan sekolah rakyat.
Dalam bidang perpustakaan sekolah, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Volksbibliotheek atau terjemahan dari perpustakaan rakyat, namun pengertiannya berbeda dengan pengertian perpustakaan umum.Volksbibliotheek artinya perpustakaan yang didirikan oleh Volkslectuur (kelak berubah menjadi Balai Pustaka), sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada Volkschool. Volkschool artinya sekolah rakyat yang menerima tamatan sekolah rendah tingkat dua. Perpustakaan ini melayani murid dan guru serta menyediakan bahan bacaan bagi rakyat setempat. Murid tidak dipungut bayaran, sedangkan masyarakat umum dipungut bayaran untuk setiap buku yang dipinjamnya.
Kalau pada tahun 1911 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Hindia Belanda mendirikan Indonesische Volksblibliotheken, maka pada tahun 1916 didirikan Nederlandsche Volksblibliotheken yang digabungkan dalam Holland-Inlandsche School (H.I.S). H.I.S. merupakan sejenis sekolah lanjutan dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Tujuan Nederlandsche Volksblibliotheken adalah untuk memenuhi keperluan bacaan para guru dan murid. Di Batavia tercatat beberapa sekolah swasta, diantaranya sekolah milik Tiong Hoa, Hwe Koan, yang memiliki perpustakaan. Sekolah tersebut menerima bantuan buku dari Commercial Press (Shanghai) dan Chung Hua Book Co. (Shanghai).
Sebenarnya sebelum pemerintah Hindia Belanda mendirikan perpustakaan sekolah, pihak swasta terlebih dahulu mendirikan perpustakaan yang mirip dengan pengertian perpustakaan umum dewasa ini. Pada tahun awal tahun 1910 berdiri Openbare leeszalen. Istilah ini mungkin dapat diterjemahkan dengan istilah ruang baca umum. Openbare leeszalen ini didirikan oleh antara lain Loge der Vrijmetselaren, Theosofische Vereeniging, dan Maatschappij tot Nut van het Algemeen.
Perkembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi di Indonesia dimulai pada awal tahun 1920an yaitu mengikuti berdirinya sekolah tinggi, misalnya seperti Geneeskunde Hoogeschool di Batavia (1927) dan kemudian juga di Surabaya dengan STOVIA; Technische Hoogescholl di Bandung (1920), Fakultait van Landbouwwentenschap (er Wijsgebeerte Bitenzorg, 1941), Rechtshoogeschool di Batavia (1924), dan Fakulteit van Letterkunde di Batavia (1940). Setiap sekolah tinggi atau fakultas itu mempunyai perpustakaan yang terpisah satu sama lain.
Pada jaman Hindia Belanda juga berkembang sejenis perpustakaan komersial yang dikenal dengan namaHuurbibliotheek atau perpustakaan sewa. Perpustakaan sewa adalah perpustakaan yang meminjamkan buku kepada kepada pemakainya dengan memungut uang sewa. Pada saat itu tejadi persaingan antaraVolksbibliotheek dengan Huurbibliotheek. Sungguhpun demikian dalam prakteknya terdapat perbedaan bahan bacaan yang disediakan. Volksbibliotheek lebih banyak menyediakan bahan bacaan populer ilmiah, maka perpustakaan Huurbibliotheek lebih banyak menyediakan bahan bacaan berupa roman dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, buku remaja serta bacaan gadis remaja. Disamping penyewaan buku ter-dapat penyewaan naskah, misalnya penulis Muhammad Bakir pada tahun 1897 mengelola sebuah perpustakaan sewaan di Pecenongan, Jakarta. Jenis sewa Naskah juga dijumpai di Palembang dan Banjarmasin. Naskah disewakan pada umumnya dengan biaya tertentu dengan disertai permohonan kepada pembacanya supaya menangani naskah dengan baik.
Disamping perpustakaan yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, sebenarnya tercatat juga perpustakaan yang didirikan oleh orang Indonesia. Pihak Keraton Mangkunegoro mendirikan perpustakaan keraton sedangkan keraton Yogyakarta mendirikan Radyo Pustoko. Sebagian besar koleksinya adalah naskah kuno. Koleksi perpustakaan ini tidak dipinjamkan, namun boleh dibaca di tempat. Pada masa penjajahan Jepang hampir tidak ada perkembangan perpustakaan yang berarti. Jepang hanya mengamankan beberapa gedung penting diantaranya Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen.
Selama pendudukan Jepang openbare leeszalen ditutup. Volkbibliotheek dijarah oleh rakyat dan lenyap dari permukaan bumi. Karena pengamanan yang kuat pada gedung Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen maka koleksi perpustakaan ini dapat dipertahankan, dan merupakan cikal bakal dari Perpustakaan Nasional. Perkembangan pasca kemerdekaan mungkin dapat dimulai dari tahun 1950an yang ditandai dengan berdirinya perpustakaan baru. Pada tanggal 25 Agustus 1950 berdiri perpustakaan Yayasan Bung Hatta dengan koleksi yang menitikberatkan kepada pengelolaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Indonesia.
Tanggal 7 Juni 1952 perpustakaan Stichting voor culturele Samenwerking, suatu badan kerjasama kebudayaan antara pemerintah RI dengan pemerintah Negeri Belanda, diserahkan kepada pemerintah RI. Kemudian oleh Pemerintah RI diubah menjadi Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial Departemen P & K. Dalam rangka usaha melakukan pemberantasan buta huruf di seluruh pelosok tanah air, telah didirikan Perpustakaan Rakyat yang bertugas membantu usaha Jawatan Pendidikan Masyarakat melakukan usaha pemberantasan buta huruf tersebut. Pada periode ini juga lahir perpustakaan Negara yang berfungsi sebagaiperpustakaan umum dan didirikan di Ibukota Propinsi. Perpustakaan Negara yang pertama didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949, kemudian disusul Ambon (1952); Bandung (1953); Ujung Pandang (1954); Padang (1956); Palembang (1957); Jakarta (1958); Palangkaraya, Singaraja, Mataram, Medan, Pekanbaru dan Surabaya (1959). Setelah itu menyusul kemudian Perpustakaan Nagara di Banjarmasin (1960); Manado (1961); Kupang dan Samarinda (1964). Perpustakaan Negara ini dikembangkan secara lintas instansional oleh tiga instansi yaitu Biro Perpustakaan Departemen P & K yang membina secara teknis, Perwakilan Departemen P & K yang membina secara administratif, dan Pemerintah Daerah Tingkat Propinsi yang memberikan fasilitas.
Daftar Pustaka
Nurhadi (1979). Perpustakaan Tertua di Indonesia: sebuah tanggapan terhadap tulisan Sulistyo-Basuki. Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia, vol. 5, no. 1-2.
Sulistyo-Basuki (1978). Uraian Singkat tentang Sejarah Perpustakaan di Indonesia. Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia, vol. 5, no. 1-2.
Sulistyo-Basuki (1994). Periodisasi Perpustakaan Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tjoen, Mohamad Joesoef dan S. Pardede (1966). Perpustakaan di Indonesia dari dari Zaman ke zaman. Jakarta: Kantor Bibliografi Nasional, Departemen P.D. dan K.
No comments:
Post a Comment