Wednesday, June 24, 2015

JURNAL ANALISIS TAFSIR HADIST ASNIMATIL-BUKHT (KEPALA PUNUK UNTA)



JURNAL ANALISIS TAFSIR HADIST ASNIMATIL-BUKHT
(KEPALA PUNUK UNTA)*
(*Muhammad Naharuddin)

PENDAHULUAN
Sebagai kaum muslimin,tentu kita pernah mendengar  tentang istilah “Kepala Punuk Unta, Istilah ini adalah istilah yang berkaitan dengan bab tata cara berpakaian bagi kaum wanita muslimin. Istilah Kepala Punuk Unta  saat-saat ini adalah istilah yang sering saya (penulis) membaca di beberapa artikel dan akun-akun media sosial (facebook,twiter,dan lainnya), dan untuk memenuhi jawaban dari beberapa saudari ukhti fillah kita yang bertanya langsung maupun melalui media social tentang istilah Kepala Punuk Unta ini. Kenapa demikian, karena belakangan istilah ini banyak dibicarakan dan sering dikampanyekan oleh beberapa aktifis dakwah melalui akun-kaun media sosial bahwa itu melanggar syariah dengan disertai sampel gambar asli unta dengan punuknya yang tinggi kemudian disisipkan gambar kepala wanita berkerudung yang gaya berkerudungnya yang "dimirip-mirip-kan" dengan punuk unta itu.

Atas dasar itulah penulis melihat ada beberapa poin yang sangat penting sekali untuk diluruskan terkait masalah punuk unta ini. Karena memang masalahnya, dalam hadits Nabi, wanita dalam konteks kepala punuk unta  dalam zhahir hadist masuk dalam golongan penduduk neraka. Jadi menurut saya (penulis), kita terlalu cepat memberikan kecaman dan vonis melanggar syari’at bahkan  wanita dalam kategori ini aadalah wanita penduduk neraka dikarenakan kita hanya melihat dan menelaah hadist dari konteks zahirnya saja.

Memahami hadits tidak seperti memahami teks bahasa Arab biasa yang bisa kita artikan tanpa melihat referensi dan rujukan-rujukan untuk referensi, cukup dengan membuka kamus atau link ke google translate kemudian kita mengambil hasilnya begitu saja.Namun menurut saya (penulis) kebiasaan dan cara seperti ini tidak bias kita terapkan untuk memahami sebuah hadist. Memahami hadits memerlukan pemahaman yang komprehensif, tidak sepotong-sepotong, karena hadits tidak seperti pragraf atau wacana bahasa arab biasa. Seandainya saja sebuah hadits itu bisa dipahami begitu saja oleh para mereka yang memang bisa berbahasa arab, maka kita kaum muslimin tidak membutuhkan kitab-kitab syarah hadist dan ulama-ulama hadist sejak 14 abad yang lalu tidak perlu repot-repot membuat kitab-kitab syarah yang jumlahnya puluhan kitab syarah untuk beberapa kitab hadist. Mengapa demikian? Karena memang tidak mudah memahami sebuah hadits. Sebagai seorang tholibul ‘ilmi atau terlebih lagi orang awam sangat perlu memiliki rujukan dan tinjauan, harus memahami dan  mengerti Asbab wurudnya, pada situasi dan kondisi bagaimana Rasulullah menyampaikan hadist tersebut, di mana Rasulullah mengatakan hadist tersebut, letak geografis, kepada siapa Nabi menyampaikan itu.

Konsekuensi dari ketidak tahuan atau ketidak mauan kita dalam mencari kejelasan status dan syarah sebuah hadist menyebabkan kita memahaminya secara tekstual belaka (dan saya sangat menyanyangkan banyak gambar yang tersebar mengutip hadits hadits ini, di beberapa web, blog, fanpage yang juga mengutip hadits ini hanya menuliskan terjemah begitu saja tanpa penjelasan dari kitab-kitab syarah hadist ulama tentang hal sangat disayangkan) tanpa kita merujuk kepada kitab-kitab syarah hadits tersebut. Padahal kalau kita buka beberapa syarah ulama dalam kitab-kitab hadist mereka (tentu dengan bimbingan mereka yang ahli di bidang hadist), maka tentunya akan mendapatkan pemahaman yang syumuliah dan tepat dan menghukumi sebuah masalah.
PEMBAHASAN 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا [1] ..... [2] وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

". Ada dua golongan penduduk neraka yang belum aku melihat keduanya, Kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia (maksudnya penguasa yang dzalim), dan perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang lain juga cenderung kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang berlenggak-lenggok. Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium bau wanginya. Padahal bau wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian waktu (jarak jauh sekali)”.(HR. Muslim [3971] dan Ahmad).

Penjelasan Hadits Menurut Para Ulama
Imam An Nawawi dalam Syarh-nya atas kitab Shahih Muslim berkata: “Hadis ini merupakan salah satu mukjizat Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Apa yang telah beliau kabarkan kini telah terjadi. Adapun “berpakaian tapi telanjang”, maka ia memiliki beberapa sisi pengertian. Pertama, artinya adalah mengenakan nikmat-nikmat Allah namun telanjang dari bersyukur kepada-Nya. Kedua, mengenakan pakaian namun telanjang dari perbuatan baik dan memperhatikan akhirat serta menjaga ketaatan. Ketiga, yang menyingkap sebagian tubuhnya untuk memperlihatkan keindahannya, mereka itulah wanita yang berpakaian namun telanjang. Keempat, yang mengenakan pakaian tipis sehingga menampakkan bagian dalamnya, berpakaian namun telanjang dalam satu makna. Sedangkan “maa`ilaatun mumiilaatun”, maka ada yang mengatakan: menyimpang dari ketaatan kepada Allah dan apa-apa yang seharusnya mereka perbuat, seperti menjaga kemaluan dan sebagainya. “mumiilaat” artinya mengajarkan perempuan-perempuan yang lain untuk berbuat seperti yang mereka lakukan. Ada yang mengatakan, “maa`ilaat” itu berlenggak-lenggok ketika berjalan, sambil menggoyang-goyangkan pundak. Ada yang mengatakan, “maa`ilaat” adalah yang menyisir rambutnya dengan gaya condong ke atas, yaitu model para pelacur yang telah mereka kenal. “mumiilaat” yaitu yang menyisirkan rambut perempuan lain dengan gaya itu. Ada yang mengatakan, “maa`ilaat” maksudnya cenderung kepada laki-laki. “mumiilaat” yaitu yang menggoda laki-laki dengan perhiasan yang mereka perlihatkan dan sebagainya. Adapun “kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta”, maknanya adalah mereka membuat kepala mereka menjadi nampak besar dengan menggunakan kain kerudung atau selempang dan lainnya yang digulung di atas kepala sehingga mirip dengan punuk-punuk unta. Ini adalah penafsiran yang masyhur.

Imam Nawawi dalam menjelaskan hadits ini mengatakan:
"Yang dimaksud dengan "Asnimatil-Bukht" [أسنمة البخت] "Punuk Unta" ialah mereka yang membesarkan kepalanya dengan kain hijab, atau selendang dan semisalnya yang dilipatkan diatas kepala sehingga menyerupai punuk unta. Ini pendapat yang masyhur" (Syarh An-Nawawi 'Ala Muslim 17/191)     




Imam Ibnu Al-'Arobi juga mengatakan:
"kalimat "Asnimatil-Bukht" [أسنمة البخت] "Punuk Unta" dalam hadits itu ialah kiasan bagi wanita yang membesarkan kepala dengan sejenis potongan-potongan kain (rambut palsu) agar orang yang melihatnya menyangka bahwa itu rambutnya. dan ini diharamkan" (Faidh Al-Qodir 1/463)

Jadi punuk unta itu –sesuai definisi di atas- bukanlah lipatan rambut, akan tetapi lipatan dan gulungan sesuatu yang bukan rambut asli entah itu kain atau bahan sejenis yang dilipat diatas kepala, agar nantinya orang yang melihat menyangka bahwa itu rambut sungguhan yang panjang padahal bukan. Ini yang dilarang karena ada unsur penipuan dan pengelabuan.

Al Maaziri berkata “dan mungkin juga maknanya adalah bahwa mereka itu sangat bernafsu untuk melihat laki-laki dan tidak menundukkan pandangan dan kepala mereka. (Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah)

Dengan adanya definisinya seperti ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan definisi dari Asnimatil-Bukht (Kepala Punuk Unta) adalah tambahan/sambungan dari kain,potongan rambut, selendang, yang dilipat atau disambung di atas kepala sehingga menyerupai punuk unta dengan niat berhias dan agar orang yang melihatnya menyangka bahwa itu rambutnya. Dan hukum dalam masalah ini adalah tidak boleh (haram). Sedangkan bagi wanita yang rambutnya panjang dan menggulungnya seperti punuk unta tersebut, tidaklah mengapa (Boleh). Maka ada kolerasi dan sambungan dengan hadits larangan menyambung rambut, karena dalam praktek itu semua terdapat unsur penipuan dan mengelabui. Nabi saw bersabda: "Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang meminta disambungkan dan yang membuat tatto juga yang minta dibuatkan tatto" (HR. Bukhori 5841)

Sebagai referensi tambahan selain pendapat-pendapat di atas, para pembaca bisa langsung merujuk ke kitab-kitab berikut: Syarah Imam Nawawi, Syarah imam Suyuthi, Imam Ibnu Al-Atsir dalam An-Nihayah, Al-Dibaaj 'ala Muslim, Imam al-baghowi juga mengutip penjelasan hadits ini dalam Syarah sunnah-nya, imam Ibnu hajar pun demikian dalam Fathul-Baari-nya.

Berbeda dengan pengertian di atas, beberapa ulama (mutakhirin [salafi]) berbeda pendapat dalam hal ini, meskipun ada sebagian besar dari mereka memiliki penafsiran yang sama dengan pendapat yang pertama. Mereka mengatakan “Kepala Punuk Unta adalah wanita mengumpulkan (menggelung/sanggul) rambutnya di atas lehernya dan di belakang kepalanya yang membentuk benjolan sehingga ketika wanita itu memakai hijab, terlihat bentuk rambutnya dari belakang hijabnya. Beberapa pendapat di antara mereka mengatakan:

Sedang Al Qoodhiy memilih penafsiran bahwa itu adalah yang menyisir rambutnya dengan gaya condong ke atas. Ia berkata: yaitu dengan memilin rambut dan mengikatnya ke atas kemudian menyatukannya di tengah-tengah kepala sehingga menjadi seperti punuk-punuk unta. Lalu ia berkata: ini menunjukkan bahwa maksud perumpamaan dengan punuk-punuk unta adalah karena tingginya rambut di atas kepala mereka, dengan dikumpulkannya rambut di atas kepala kemudian dipilin sehingga rambut itu berlenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan kepala” (Fatwa Syaikhuna Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah)

Al Banni dalam sebuah jawaban atas pertanyaan: Apa hukum seorang wanita mengumpulkan (menggelung/sanggul) rambutnya di atas lehernya dan di belakang kepalanya yang membentuk benjolan sehingga ketika wanita itu memakai hijab, terlihat bentuk rambutnya dari belakang hijabnya? Beliau menjawab: Ini adalah kesalahan yang terjadi pada banyak wanita yang memakai jilbab, dimana mereka mengumpulkan rambut-rambut mereka di belakang kepala mereka sehingga menonjol dari belakang kepalanya walaupun mereka memakai jilbab di atasnya. Sesungguhnya hal ini menyelisihi syarat hijab yang telah kukumpulkan dalam kitabku “Hijab al-Mar’ah al-Muslimah minal Kitab was Sunnah”. Dan diantara syarat-syarat tersebut adalah pakaian mereka tidak membentuk bagian tubuh atau sesuatu dari tubuh wanita tersebut, oleh karena itu tidak boleh bagi seorang wanita menggelung rambutnya dibelakang kepalanya atau disampingnya yang akan menonjol seperti itu, sehingga tampaklah bagi penglihatan orang walaupun tanpa sengaja bahwa itu adalah rambut yang lebat atau pendek. Maka wajib untuk mengurainya dan tidak menumpuknya. (Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilatul Huda wan Nur“. Fatwa ‘Al-Lajnah Ad-Da’imah’ 2/27)

Dalam kitab yang sama kita pendapat yang senada dalam sebuah pertanyaan: “ Apakah boleh kita berkeyakinan tentang kafirnya para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium bau wanginya. Padahal bau wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian waktu jarak jauh sekali” (Al-Hadits)?. Jawaban: Siapa saja yang meyakini akan halalnya hal itu dari kalangan para wanita padahal telah dijelaskan kepadanya (kalau tidak halal) dan diberi pengertian tentang hukumnya, maka ia kafir. Adapun yang tidak menghalalkan hal itu dari kalangan para wanita akan tetapi ia keluar rumah dalam keadaan berpakaian tapi telanjang, maka ia tidak kafir, akan tetapi ia terjerumus dalam dosa besar, yang harus melepaskan diri darinya dan taubat daripadanya kepada Allah, semoga Allah mengampuninya. Jika ia mati dalam keadaan belum bertaubat dari dosanya itu maka ia berada dalam kehendak Allah sebagaimana layaknya para ahli maksiat; sebagaimana firman Allah Azza Wa Jalla: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. An-Nisaa’: 48). Fatwa ‘Al-Lajnah Ad-Da’imah’ 2/27.

Jadi, dari pendapat yang ke dua dapat ditarik kesimpulan bahwa Asnimatil-Bukht (Kepala Punuk Unta) adalah wanita mengumpulkan (menggelung/sanggul) rambutnya di atas lehernya dan di belakang kepalanya yang membentuk benjolan sehingga ketika wanita itu memakai hijab, terlihat bentuk rambutnya dari belakang hijabnya. Dan keharaman melakukan tindakan seperti ini.

Melihat adanya perbedaan penafsiran tentang makna istilah Asnimatil-Bukht (Kepala Punuk Unta) antara pendapat pertama (tidak haram dan boleh dilakukan bagi wanita berambut panjang) dengan pendapat kedua (mutlak haram dan pelakunya tidak akan masuk surga), maka saya (penulis) lebih memilih pendapat yang pertama tentang kebolehannya dengan mengacu pada kitab-kitab syarah yang menjelaskannya tanpa menesampingkan pendapat ke dua tentang keharamannya. Meskipun ada ulama yang menafsirkan bahwa punuk unta itu lipatan rambut panjang. Meskipun demikian, ulama punya spesifikasi khusus dalam mengkategorikan lipatan rambut itu sampai disebut dengan punuk unta yang dimaksud dalam hadits di atas.

Imam Ibnu Hajar Al-'Asqolani dalam kitabnya  Fathul-Baari mengutip pendapat Imam Al-Qurthubi mengatakan:
وقال القرطبي البخت بضم الموحدة وسكون المعجمة ثم مثناة جمع بختية وهي ضرب من الإبل عظام الأسنمة والأسنمة بالنون جمع سنام وهو أعلى ما في ظهر الجمل شبة رءوسهن بها لما رفعن من ضفائر شعورهن على أوساط رءوسهن تزيينا وتصنعا وقد يفعلن ذلك بما يكثرن به شعورهن
"bukht [بخت] itu bentuk plural dari Bukhtiyah [بختية], yaitu kata yang dipakai sebagai perumpamaan unta yang mempunyai punuk besar. Sedangkan kata Asnimah [أسنمة] bentuk plural dari "Sanam" [سنام] yaitu ialah punuk yang menjulang tinggi yang berada ditengah-tengah punggung unta,  
Kepala-kepala wanita itu dianalogikan dengan punuk unta karena mereka mengangkat (menjadikan) gulungan dan lipatan rambut mereka diatas kepala sebagai bentuk perhiasan (berhias mempercantik) dan dibuat-buat, dan terkadang mereka melakukan itu dengan sesuatu yang bisa menambah rambut mereka (dengan rambut buatan)"  (Fathul-Baari 10/375)

Dari pendapat al Qurthubi di atas ada  point penting yang dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi disitu, yaitu point:
تزيينا وتصنعا
"sebagai bentuk perhiasan (berhias mempercantik) dan dibuat-buat"

Menilik keterangan ini, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud Kepala Punuk Unta adalah  ikatan atau gulungan rambut dan yang bukan rambut, seperti kain atau sorban, selendang, atau gulungan rambut palsu,  yang kemudian ditaruh diatas kepala dengan tujuan berhias (mempercantik diri), yaitu dengan maksud berdan-dan untuk menarik perhatian lawan jenis sesuai dalam teks hadis di atas (“perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang lain juga cenderung kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang berlenggak-lenggok”).

Permasalahan bagi wanita yang berambut panjang
 Lalu bagaimana dengan wanita yang punya rambut panjang? Ketika mereka menggulung rambutnya di atas kepala sehingga Nampak seperti Punuk Unta, masuk dalam katagori  istilah Asnimatil-Bukht (Kepala Punuk Unta)? Melihat di sekitar lingkungan kita, banyak wanita muslimah juga banyak yang berkerudung dengan model "mirip" punuk unta ini dikarenakan  rambutnya yang panjang. Lalu apakah mereka tergolong sebagai ahli neraka sesuai teks hadist tersebut?

Menurut penulis tidak masalah mereka melakukan perbuatan seperti itu (menggulung rambutnya di atas kepalanya meskipun nampak seperti Punuk Unta) dengan merujuk pada pendapat-pendapat yang pertama tentang kebolehan melakukannya dengan beberapa syarat yang diajukan olehal Qurtuby dalam syarah Faatul Baari ibnu Hajar Rahimahullah.

Sebagai referensi tambahan tentang kebolehan wanita menggulung rambut di atas kepalanya seolah Nampak seperti Punuk Unta, penulis mengutip beberapa fatwa dari ulama Salafi/Wahabi tentang kebolehannya, antara lain:

Fatwa Syaikhuna Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah: Pertanyaan: Apakah perbuatan yang dilakukan sebagian wanita berupa mengumpulkan rambut menjadi berbentuk bulat (menggelung/menyanggul) di belakang kepala, masuk ke dalam ancaman dalam hadits : “…Wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang… kepala-kepala mereka seperti punuk unta, mereka tidak akan masuk surga…“ ? Jawaban : Adapun jika seorang wanita menggulung rambutnya karena ada kesibukan kemudian mengembalikannya setelah selesai, maka ini tidak mengapa, karena ia tidak melakukannya dengan niat berhias, akan tetapi karena adanya hajat/keperluan mendadak. Adapun mengangkat dan menggulung rambut untuk tujuan berhias, jika dilakukan ke bagian atas kepala maka ini masuk ke dalam larangan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam : “…kepala-kepala mereka seperti punuk unta…”, dan punuk itu adanya di atas…“ Sumber : “Liqo’ Bab al-Maftuh” kaset no. 161

Sheikh Bin Baz ketika ditanya dalam sebuah majlis "apakah lipatan rambut dibelakang kepala untuk wanita yang berambut panjang itu termasuk dalam golongan ahli neraka yang disebut dengan punuk unta dalam hadits nabi?" Beliau menjawab: Tidak! wanita yang berambut panjang kemudian melipatnya dibelakang kepala tidak masalah walaupun agak sedikit menonjol. Karena larangannya ialah lipatan dari sesuatu selain rambut, seperti kain atau selendang dan semisalnya.
Fatawa bin Baz: binbaz.org.

Sheikh Kholid bin Abdullah Al-Muslih, seorang guru besar syariah dari Universitas Imam Muhammad bin Saud cabang Al-Qosim, pun mengatakan pendapat yang sama dalam sebuah acara televisi konsultasi syariah yang memang rutin ditayangkan dan beliau menjadi pengasuhnya. Doktor fakar syari’ah yang pernah belajar langsung dengan Sheikh Sholeh Al-'Utsaimin ini juga mengatakan bahwa lipatan rambut wanita yang memang berambut panjang sama sekali tidak termasuk dalam kategori punuk unta yang dapat ancaman neraka dalam hadits Nabi saw.

Maka jelaslah bagi kita bahwa wanita yang berambut panjang menggulung rambut di atas kepalanya meskipun nampak seperti Punuk Unta dengan beberapa syarat tidak bertujuan berhias dan dibuat-buat, karena teks matan “Asnimatil-Bukht (Kepala Punuk Unta)” dalam hadist di atas adalah sesuatu yang bukan merupakan rambut asli dari wanita tersebut. Karena jika mengacu pada keharamannya, maka wanita-wanita yang berambut panjang menjadi dilema. Sulit sekali rasanya berhijab, karena kalau rambutnya dujulurkan begitu saja agar tidak ada punuk unta, itu akan membuat rambutnya terlihat oleh orang-orang karena panjangnya rambut tersebut.

Hal penting yang dapat diambil hikmahnya dalam permasalahan ini adalah tentang hikmah disyari’atkannya hijab syar’I, cara berjilbab yang sesuai dengan perintah al Qur’an (QS An Nur:33), yaitu dengan menjulurkan kain di dadanya, sehingga bagi wanita yang memiliki rambut yang cukup panjang tidak masalah bila menguraikannya karena rambutnya tertutup jilbab. Kemudian untuk wanita yang rambutnya sangat panjang, saya (penulis) memaparkan 3 (tiga) buah tindakan, yaitu:

1.      Pertama: Memanjangkan hijabnya sampai belakang duburnya, karena sepengetahuan penulis bahwa rambut kepala wanita tidaklah lebih panjang melebihi bagian duburnya.
2.      Kedua: Menggulung rambut di atas kepalanya sehingga nampak seperti Punuk Unta dengan tujuan bagian atau ujung rambutnya tidak kelihatan.
3.      Ketiga: Memotong rambut sehingga rapi dan aurat pun tertutup dengan menta’ati kaidah aturan memotong rambut kepala bagi wanita.

Memotong rambut kepala tidak ada nash shahih yang mengharamkannya, sama halnya dengan tidak ada dalil yang melarang memanjangkan rambut kepala bagi seorang wanita. Adapun tentang memotong rambut kepala ada beberapa hal yang harus dijelaskan sebagai berikut.
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah beliau mengatakan,
 “Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong rambut mereka, hingga panjangnya seperti al-wafrah.” (HR. Muslim 320).
Al-wafrah adalah rambut yang panjangnya sampai daun telinga, namun tidak melebihi daun telinga. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 4:4).
An-Nawawi menukil keterangan al-Qodhi Iyadh:
 “Mereka (para istri Nabi) melakukan hal itu setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan ketika beliau masih hidup… itulah yang pasti. Tidak mungkin kita berprasangka bahwa mereka melakukan hal itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.” (Syarh Shahih Muslim an-Nawawi, 4:5).
Kemudian an-Nawawi juga menegaskan,
 Hadis ini merupakan dalil bolehnya memangkas rambut bagi wanita.” (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 4:5).
Berdasarkan hadis di atas, potong rambut bagi wanita hukumnya boleh, sebagaimana yang disimpulkan an-nawawi. Hanya saja, para ulama memberikan batasan lain, sebagai berikut:
Pertama, tidak boleh ditujukan untuk menyerupai model rambut wanita kafir atau wanita fasik, seperti artis dan semacamnya. Jika ada mode rambut yang itu berasal dari orang kafir atau gaya seorang artis, maka tidak boleh ditiru.
Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 Siapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk kaum itu.” (HR. Abu daud, Ibn Abi Syaibah dan dishahihkan al-Albani)
Tentu saja kita tidak ingin dikatakan sebagai bagian dari orang jelek atau bahkan orang kafir, karena rambut kita meniru rambut mereka.
Kedua, tidak boleh menyerupai laki-laki. Potongan rambut yang umumnya menjadi ciri laki-laki, tidak boleh ditiru wanita. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki.” (HR. Bukhari 5435).
Ketiga, Dilakukan tanpa izin suami
Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong rambut mereka setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Ini memberikan pelajaran kepada kita bagaimana seorang istri berusaha berhias dan menampakkan kondisi paling menarik bagi suaminya. Jangankan model rambut yang menjadi mahkota kecantikan bagi wanita, bahkan syariat melarang wanita melakukan puasa sunah, tanpa seizin suami sementara suaminya berada di rumah. Itu semua dalam rangka mewujudkan keharmonisan antara suami-istri.
PENUTUP
Makna dari hadits riwayat imam Muslim tentang makna dan kandungannya, maka penulis menyarankan kita menambah referensi kajian kita dengan menelaah kitab-kitab syarah yang menyarah kitab Shohih muslim, ada Syarah Imam Nawawi, Syarah imam Suyuthi, Imam Ibnu Al-Atsir An-Nihayah, Al-Dibaaj 'ala Muslim, Imam al-baghowi juga mengutip penjelasan hadits ini dalam Syarah sunnah-nya, imam Ibnu hajar pun demikian dalam Fathul-Baari-nya.

Dan kesemua ulama tersebut sama sekali tidak ada yang meributkan punuk unta, selain punuk yang terbuat dari kain, sorban, rambut palsu, dan bahan-bahan lainnya, selama itu memang rambut asli dan memang harus mengumpulkannya, mirip atau tidak mirip punuk unta, tidak diributkan. Meskipun ada yang mempermasalahkan jika itu rambut asli, tapi dengan penyebutan "Tazyiinan wa tashonnu'an" (pamer cantik, dibuat-buat biar dibilang cantik".

Malah tidak sedikit ulama yang menafsirkan tentang prilaku buruk si wanita arena memang sejak awal redaksi hadits tersebut menceritakan perangai buruk seorang wanita yang berpakaina tapi telanjang.

Wallahu Ta’ala A’lam




No comments:

Post a Comment