JURNAL ANALISIS TAFSIR HADIST ASNIMATIL-BUKHT
(KEPALA PUNUK UNTA)*
(*Muhammad Naharuddin)
PENDAHULUAN
Sebagai kaum muslimin,tentu kita pernah mendengar tentang istilah “Kepala Punuk Unta, Istilah
ini adalah istilah yang berkaitan dengan bab tata cara berpakaian bagi kaum
wanita muslimin. Istilah Kepala Punuk Unta saat-saat ini adalah istilah yang sering saya
(penulis) membaca di beberapa artikel dan akun-akun media sosial
(facebook,twiter,dan lainnya), dan untuk memenuhi jawaban dari beberapa saudari
ukhti fillah kita yang bertanya langsung maupun melalui media social tentang
istilah Kepala Punuk Unta ini. Kenapa demikian, karena belakangan istilah ini
banyak dibicarakan dan sering dikampanyekan oleh beberapa aktifis dakwah
melalui akun-kaun media sosial bahwa itu melanggar syariah dengan disertai
sampel gambar asli unta dengan punuknya yang tinggi kemudian disisipkan gambar
kepala wanita berkerudung yang gaya berkerudungnya yang "dimirip-mirip-kan"
dengan punuk unta itu.
Atas dasar itulah penulis melihat ada beberapa poin yang
sangat penting sekali untuk diluruskan terkait masalah punuk unta ini. Karena
memang masalahnya, dalam hadits Nabi, wanita dalam konteks kepala punuk
unta dalam zhahir hadist masuk dalam
golongan penduduk neraka. Jadi menurut saya (penulis), kita terlalu cepat
memberikan kecaman dan vonis melanggar syari’at bahkan wanita dalam kategori ini aadalah wanita
penduduk neraka dikarenakan kita hanya melihat dan menelaah hadist dari konteks
zahirnya saja.
Memahami hadits tidak seperti memahami teks bahasa Arab
biasa yang bisa kita artikan tanpa melihat referensi dan rujukan-rujukan untuk
referensi, cukup dengan membuka kamus atau link ke google translate kemudian kita
mengambil hasilnya begitu saja.Namun menurut saya (penulis) kebiasaan dan cara
seperti ini tidak bias kita terapkan untuk memahami sebuah hadist. Memahami
hadits memerlukan pemahaman yang komprehensif, tidak sepotong-sepotong, karena hadits
tidak seperti pragraf atau wacana bahasa arab biasa. Seandainya saja sebuah hadits
itu bisa dipahami begitu saja oleh para mereka yang memang bisa berbahasa arab,
maka kita kaum muslimin tidak membutuhkan kitab-kitab syarah hadist dan ulama-ulama
hadist sejak 14 abad yang lalu tidak perlu repot-repot membuat kitab-kitab
syarah yang jumlahnya puluhan kitab syarah untuk beberapa kitab hadist. Mengapa
demikian? Karena memang tidak mudah memahami sebuah hadits. Sebagai seorang
tholibul ‘ilmi atau terlebih lagi orang awam sangat perlu memiliki rujukan dan
tinjauan, harus memahami dan mengerti
Asbab wurudnya, pada situasi dan kondisi bagaimana Rasulullah menyampaikan hadist
tersebut, di mana Rasulullah mengatakan hadist tersebut, letak geografis,
kepada siapa Nabi menyampaikan itu.
Konsekuensi dari ketidak tahuan atau ketidak mauan kita dalam mencari kejelasan status dan syarah sebuah hadist menyebabkan kita memahaminya secara tekstual belaka (dan saya sangat menyanyangkan banyak gambar yang tersebar mengutip hadits hadits ini, di beberapa web, blog, fanpage yang juga mengutip hadits ini hanya menuliskan terjemah begitu saja tanpa penjelasan dari kitab-kitab syarah hadist ulama tentang hal sangat disayangkan) tanpa kita merujuk kepada kitab-kitab syarah hadits tersebut. Padahal kalau kita buka beberapa syarah ulama dalam kitab-kitab hadist mereka (tentu dengan bimbingan mereka yang ahli di bidang hadist), maka tentunya akan mendapatkan pemahaman yang syumuliah dan tepat dan menghukumi sebuah masalah.
Konsekuensi dari ketidak tahuan atau ketidak mauan kita dalam mencari kejelasan status dan syarah sebuah hadist menyebabkan kita memahaminya secara tekstual belaka (dan saya sangat menyanyangkan banyak gambar yang tersebar mengutip hadits hadits ini, di beberapa web, blog, fanpage yang juga mengutip hadits ini hanya menuliskan terjemah begitu saja tanpa penjelasan dari kitab-kitab syarah hadist ulama tentang hal sangat disayangkan) tanpa kita merujuk kepada kitab-kitab syarah hadits tersebut. Padahal kalau kita buka beberapa syarah ulama dalam kitab-kitab hadist mereka (tentu dengan bimbingan mereka yang ahli di bidang hadist), maka tentunya akan mendapatkan pemahaman yang syumuliah dan tepat dan menghukumi sebuah masalah.
PEMBAHASAN
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا [1] ..... [2] وَنِسَاءٌ
كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ
الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا
لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
".
Ada dua golongan penduduk neraka yang belum aku melihat keduanya, Kaum yang
membawa cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia (maksudnya penguasa
yang dzalim), dan perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, cenderung
kepada kemaksiatan dan membuat orang lain juga cenderung kepada kemaksiatan.
Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang berlenggak-lenggok. Mereka
tidak masuk surga dan tidak mencium bau wanginya. Padahal bau wangi surga itu
tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian waktu (jarak jauh sekali)”.(HR.
Muslim [3971] dan Ahmad).
Penjelasan
Hadits Menurut Para Ulama
Imam An Nawawi dalam Syarh-nya atas kitab Shahih Muslim
berkata: “Hadis ini merupakan salah satu mukjizat Rasulullah Shallallahu
’Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Apa yang telah beliau kabarkan kini telah
terjadi. Adapun “berpakaian tapi
telanjang”, maka ia memiliki beberapa sisi pengertian. Pertama, artinya adalah mengenakan nikmat-nikmat Allah namun
telanjang dari bersyukur kepada-Nya. Kedua,
mengenakan pakaian namun telanjang dari perbuatan baik dan memperhatikan
akhirat serta menjaga ketaatan. Ketiga,
yang menyingkap sebagian tubuhnya untuk memperlihatkan keindahannya, mereka
itulah wanita yang berpakaian namun telanjang. Keempat, yang mengenakan pakaian tipis sehingga menampakkan bagian
dalamnya, berpakaian namun telanjang dalam satu makna. Sedangkan “maa`ilaatun
mumiilaatun”, maka ada yang mengatakan: menyimpang dari ketaatan kepada
Allah dan apa-apa yang seharusnya mereka perbuat, seperti menjaga kemaluan dan
sebagainya. “mumiilaat” artinya mengajarkan perempuan-perempuan yang lain
untuk berbuat seperti yang mereka lakukan. Ada yang mengatakan, “maa`ilaat”
itu berlenggak-lenggok ketika berjalan, sambil menggoyang-goyangkan pundak. Ada
yang mengatakan, “maa`ilaat” adalah
yang menyisir rambutnya dengan gaya condong ke atas, yaitu model para pelacur
yang telah mereka kenal. “mumiilaat” yaitu yang menyisirkan
rambut perempuan lain dengan gaya itu. Ada yang mengatakan, “maa`ilaat”
maksudnya cenderung kepada laki-laki. “mumiilaat” yaitu yang menggoda
laki-laki dengan perhiasan yang mereka perlihatkan dan sebagainya. Adapun “kepala-kepala mereka seperti
punuk-punuk unta”, maknanya adalah mereka membuat kepala mereka menjadi nampak
besar dengan menggunakan kain kerudung atau selempang dan lainnya yang digulung
di atas kepala sehingga mirip dengan punuk-punuk unta. Ini adalah penafsiran
yang masyhur.
Imam Nawawi dalam menjelaskan hadits
ini mengatakan:
"Yang dimaksud dengan
"Asnimatil-Bukht" [أسنمة البخت]
"Punuk Unta" ialah mereka yang membesarkan kepalanya dengan kain
hijab, atau selendang dan semisalnya yang dilipatkan diatas kepala sehingga
menyerupai punuk unta. Ini pendapat yang masyhur" (Syarh An-Nawawi 'Ala Muslim 17/191)
Imam Ibnu Al-'Arobi juga mengatakan:
"kalimat
"Asnimatil-Bukht" [أسنمة البخت]
"Punuk Unta" dalam hadits itu ialah kiasan bagi wanita yang
membesarkan kepala dengan sejenis potongan-potongan kain (rambut palsu) agar
orang yang melihatnya menyangka bahwa itu rambutnya. dan ini diharamkan" (Faidh
Al-Qodir 1/463)
Jadi punuk unta itu –sesuai definisi di atas- bukanlah
lipatan rambut, akan tetapi lipatan dan gulungan sesuatu yang bukan rambut asli
entah itu kain atau bahan sejenis yang dilipat diatas kepala, agar nantinya
orang yang melihat menyangka bahwa itu rambut sungguhan yang panjang padahal
bukan. Ini yang dilarang karena ada unsur penipuan dan pengelabuan.
Al Maaziri berkata “dan mungkin juga maknanya adalah bahwa
mereka itu sangat bernafsu untuk melihat laki-laki dan tidak menundukkan
pandangan dan kepala mereka. (Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah)
Dengan adanya definisinya seperti ini, dapat ditarik sebuah
kesimpulan definisi dari Asnimatil-Bukht (Kepala Punuk Unta) adalah
tambahan/sambungan dari kain,potongan rambut, selendang, yang dilipat atau
disambung di atas kepala sehingga
menyerupai punuk unta dengan niat berhias dan agar orang yang melihatnya menyangka bahwa itu rambutnya. Dan hukum
dalam masalah ini adalah tidak boleh (haram). Sedangkan bagi wanita yang
rambutnya panjang dan menggulungnya seperti punuk unta tersebut, tidaklah
mengapa (Boleh). Maka ada kolerasi dan sambungan dengan hadits larangan
menyambung rambut, karena dalam praktek itu semua terdapat unsur penipuan dan
mengelabui. Nabi saw bersabda: "Allah melaknat wanita yang menyambung
rambutnya dan yang meminta disambungkan dan yang membuat tatto juga yang minta
dibuatkan tatto" (HR. Bukhori 5841)
Sebagai referensi tambahan selain pendapat-pendapat di atas,
para pembaca bisa langsung merujuk ke kitab-kitab berikut: Syarah Imam
Nawawi, Syarah imam Suyuthi, Imam Ibnu Al-Atsir dalam An-Nihayah,
Al-Dibaaj 'ala Muslim, Imam al-baghowi juga mengutip penjelasan hadits
ini dalam Syarah sunnah-nya, imam Ibnu hajar pun demikian dalam Fathul-Baari-nya.
Berbeda
dengan pengertian di atas, beberapa ulama (mutakhirin [salafi]) berbeda
pendapat dalam hal ini, meskipun ada sebagian besar dari mereka memiliki
penafsiran yang sama dengan pendapat yang pertama. Mereka mengatakan “Kepala
Punuk Unta adalah wanita mengumpulkan
(menggelung/sanggul) rambutnya di atas lehernya dan di belakang kepalanya yang
membentuk benjolan sehingga ketika wanita itu memakai hijab, terlihat bentuk
rambutnya dari belakang hijabnya. Beberapa pendapat di antara mereka
mengatakan:
Sedang Al Qoodhiy memilih penafsiran bahwa itu adalah yang
menyisir rambutnya dengan gaya condong ke atas. Ia berkata: yaitu dengan
memilin rambut dan mengikatnya ke atas kemudian menyatukannya di tengah-tengah
kepala sehingga menjadi seperti punuk-punuk unta. Lalu ia berkata: ini
menunjukkan bahwa maksud perumpamaan dengan punuk-punuk unta adalah karena
tingginya rambut di atas kepala mereka, dengan dikumpulkannya rambut di atas
kepala kemudian dipilin sehingga rambut itu berlenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan
kepala” (Fatwa Syaikhuna Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah)
Al Banni dalam sebuah jawaban atas pertanyaan: Apa hukum
seorang wanita mengumpulkan (menggelung/sanggul) rambutnya di atas lehernya dan
di belakang kepalanya yang membentuk benjolan sehingga ketika wanita itu
memakai hijab, terlihat bentuk rambutnya dari belakang hijabnya? Beliau
menjawab: Ini adalah kesalahan yang terjadi pada banyak wanita yang memakai
jilbab, dimana mereka mengumpulkan rambut-rambut mereka di belakang kepala
mereka sehingga menonjol dari belakang kepalanya walaupun mereka memakai jilbab
di atasnya. Sesungguhnya hal ini menyelisihi syarat hijab yang telah
kukumpulkan dalam kitabku “Hijab al-Mar’ah al-Muslimah minal Kitab was Sunnah”.
Dan diantara syarat-syarat tersebut adalah pakaian mereka tidak membentuk
bagian tubuh atau sesuatu dari tubuh wanita tersebut, oleh karena itu tidak
boleh bagi seorang wanita menggelung rambutnya dibelakang kepalanya atau
disampingnya yang akan menonjol seperti itu, sehingga tampaklah bagi
penglihatan orang walaupun tanpa sengaja bahwa itu adalah rambut yang lebat
atau pendek. Maka wajib untuk mengurainya dan tidak menumpuknya. (Fatwa Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani dalam Silsilatul Huda wan Nur“. Fatwa ‘Al-Lajnah
Ad-Da’imah’ 2/27)
Dalam kitab yang sama kita pendapat yang senada dalam sebuah
pertanyaan: “ Apakah boleh kita berkeyakinan tentang kafirnya para wanita yang
berpakaian tapi telanjang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa
‘Ala Alihi Wa Sallam: “Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium bau wanginya.
Padahal bau wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian
waktu jarak jauh sekali” (Al-Hadits)?. Jawaban: Siapa saja yang meyakini akan
halalnya hal itu dari kalangan para wanita padahal telah dijelaskan kepadanya
(kalau tidak halal) dan diberi pengertian tentang hukumnya, maka ia kafir.
Adapun yang tidak menghalalkan hal itu dari kalangan para wanita akan tetapi ia
keluar rumah dalam keadaan berpakaian tapi telanjang, maka ia tidak kafir, akan
tetapi ia terjerumus dalam dosa besar, yang harus melepaskan diri darinya dan
taubat daripadanya kepada Allah, semoga Allah mengampuninya. Jika ia mati dalam
keadaan belum bertaubat dari dosanya itu maka ia berada dalam kehendak Allah
sebagaimana layaknya para ahli maksiat; sebagaimana firman Allah Azza Wa Jalla:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”.
(QS. An-Nisaa’: 48). Fatwa ‘Al-Lajnah Ad-Da’imah’ 2/27.
Jadi, dari pendapat yang ke dua dapat ditarik kesimpulan
bahwa Asnimatil-Bukht (Kepala
Punuk Unta) adalah wanita mengumpulkan (menggelung/sanggul) rambutnya di atas
lehernya dan di belakang kepalanya yang membentuk benjolan sehingga ketika
wanita itu memakai hijab, terlihat bentuk rambutnya dari belakang hijabnya. Dan
keharaman melakukan tindakan seperti ini.
Melihat adanya perbedaan penafsiran tentang makna istilah Asnimatil-Bukht
(Kepala Punuk Unta) antara pendapat pertama (tidak haram dan boleh dilakukan
bagi wanita berambut panjang) dengan pendapat kedua (mutlak haram dan pelakunya
tidak akan masuk surga), maka saya (penulis) lebih memilih pendapat yang
pertama tentang kebolehannya dengan mengacu pada kitab-kitab syarah yang
menjelaskannya tanpa menesampingkan pendapat ke dua tentang keharamannya. Meskipun
ada ulama yang menafsirkan bahwa punuk unta itu lipatan rambut panjang.
Meskipun demikian, ulama punya spesifikasi khusus dalam mengkategorikan lipatan
rambut itu sampai disebut dengan punuk unta yang dimaksud dalam hadits di atas.
Imam Ibnu Hajar Al-'Asqolani dalam kitabnya Fathul-Baari
mengutip pendapat Imam
Al-Qurthubi mengatakan:
وقال القرطبي البخت بضم
الموحدة وسكون المعجمة ثم مثناة جمع بختية وهي ضرب من الإبل عظام الأسنمة والأسنمة
بالنون جمع سنام وهو أعلى ما في ظهر الجمل شبة رءوسهن بها لما رفعن من ضفائر
شعورهن على أوساط رءوسهن تزيينا وتصنعا وقد يفعلن ذلك بما يكثرن به شعورهن
"bukht [بخت] itu bentuk plural dari Bukhtiyah [بختية],
yaitu kata yang dipakai sebagai perumpamaan unta yang mempunyai punuk besar.
Sedangkan kata Asnimah [أسنمة] bentuk plural dari "Sanam" [سنام] yaitu ialah
punuk yang menjulang tinggi yang berada ditengah-tengah punggung unta,
Kepala-kepala wanita itu dianalogikan dengan punuk unta
karena mereka mengangkat (menjadikan) gulungan dan lipatan rambut mereka diatas
kepala sebagai bentuk perhiasan (berhias mempercantik) dan dibuat-buat,
dan terkadang mereka melakukan itu dengan sesuatu yang bisa menambah rambut
mereka (dengan rambut buatan)" (Fathul-Baari
10/375)
Dari pendapat al Qurthubi di atas ada point penting yang dijelaskan oleh Imam
Al-Qurthubi disitu, yaitu point:
تزيينا وتصنعا
"sebagai bentuk perhiasan
(berhias mempercantik) dan dibuat-buat"
Menilik keterangan ini, maka kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa yang dimaksud Kepala Punuk Unta adalah ikatan atau gulungan rambut dan yang bukan
rambut, seperti kain atau sorban, selendang, atau gulungan rambut palsu, yang kemudian ditaruh diatas kepala dengan tujuan
berhias (mempercantik diri), yaitu dengan maksud berdan-dan untuk menarik
perhatian lawan jenis sesuai dalam teks hadis di atas (“perempuan-perempuan
yang berpakaian tapi telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang
lain juga cenderung kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka seperti
punuk-punuk unta yang berlenggak-lenggok”).
Permasalahan
bagi wanita yang berambut panjang
Lalu
bagaimana dengan wanita yang punya rambut panjang? Ketika mereka menggulung
rambutnya di atas kepala sehingga Nampak seperti Punuk Unta, masuk dalam
katagori istilah Asnimatil-Bukht (Kepala
Punuk Unta)? Melihat di sekitar lingkungan kita, banyak wanita muslimah juga
banyak yang berkerudung dengan model "mirip" punuk unta ini
dikarenakan rambutnya yang panjang. Lalu
apakah mereka tergolong sebagai ahli neraka sesuai teks hadist tersebut?
Menurut penulis tidak masalah mereka melakukan perbuatan
seperti itu (menggulung rambutnya di atas kepalanya meskipun nampak seperti
Punuk Unta) dengan merujuk pada pendapat-pendapat yang pertama tentang
kebolehan melakukannya dengan beberapa syarat yang diajukan olehal Qurtuby
dalam syarah Faatul Baari ibnu Hajar Rahimahullah.
Sebagai referensi tambahan tentang kebolehan wanita
menggulung rambut di atas kepalanya seolah Nampak seperti Punuk Unta, penulis
mengutip beberapa fatwa dari ulama Salafi/Wahabi tentang kebolehannya, antara
lain:
Fatwa Syaikhuna Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah: Pertanyaan: Apakah perbuatan yang dilakukan sebagian wanita
berupa mengumpulkan rambut menjadi berbentuk bulat (menggelung/menyanggul) di
belakang kepala, masuk ke dalam ancaman dalam hadits : “…Wanita-wanita yang
berpakaian tapi telanjang… kepala-kepala mereka seperti punuk unta, mereka
tidak akan masuk surga…“ ? Jawaban : Adapun jika seorang wanita menggulung
rambutnya karena ada kesibukan kemudian mengembalikannya setelah selesai, maka
ini tidak mengapa, karena ia tidak melakukannya dengan niat berhias, akan
tetapi karena adanya hajat/keperluan mendadak. Adapun mengangkat dan menggulung
rambut untuk tujuan berhias, jika dilakukan ke bagian atas kepala maka ini
masuk ke dalam larangan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa
‘Ala Alihi Wa Sallam : “…kepala-kepala mereka seperti punuk unta…”, dan punuk
itu adanya di atas…“ Sumber : “Liqo’ Bab al-Maftuh” kaset no. 161
Sheikh Bin Baz ketika ditanya dalam sebuah majlis "apakah lipatan
rambut dibelakang kepala untuk wanita yang berambut panjang itu termasuk dalam
golongan ahli neraka yang disebut dengan punuk unta dalam hadits nabi?" Beliau
menjawab: Tidak! wanita yang berambut panjang kemudian melipatnya dibelakang
kepala tidak masalah walaupun agak sedikit menonjol. Karena larangannya ialah
lipatan dari sesuatu selain rambut, seperti kain atau selendang dan semisalnya.
Fatawa bin Baz: binbaz.org.
Sheikh Kholid bin Abdullah Al-Muslih, seorang guru besar
syariah dari Universitas Imam Muhammad bin Saud cabang Al-Qosim, pun mengatakan
pendapat yang sama dalam sebuah acara televisi konsultasi syariah yang memang
rutin ditayangkan dan beliau menjadi pengasuhnya. Doktor fakar syari’ah yang
pernah belajar langsung dengan Sheikh Sholeh Al-'Utsaimin ini juga mengatakan
bahwa lipatan rambut wanita yang memang berambut panjang sama sekali tidak
termasuk dalam kategori punuk unta yang dapat ancaman neraka dalam hadits Nabi
saw.
Maka jelaslah bagi kita bahwa wanita yang berambut panjang
menggulung rambut di atas kepalanya meskipun nampak seperti Punuk Unta dengan
beberapa syarat tidak bertujuan berhias dan dibuat-buat, karena teks matan “Asnimatil-Bukht (Kepala Punuk Unta)”
dalam hadist di atas adalah sesuatu yang bukan merupakan rambut asli dari
wanita tersebut. Karena jika mengacu pada keharamannya, maka wanita-wanita yang
berambut panjang menjadi dilema. Sulit sekali rasanya berhijab, karena kalau
rambutnya dujulurkan begitu saja agar tidak ada punuk unta, itu akan membuat
rambutnya terlihat oleh orang-orang karena panjangnya rambut tersebut.
Hal penting yang dapat diambil hikmahnya dalam permasalahan
ini adalah tentang hikmah disyari’atkannya hijab syar’I, cara berjilbab yang
sesuai dengan perintah al Qur’an (QS An Nur:33), yaitu dengan menjulurkan kain
di dadanya, sehingga bagi wanita yang memiliki rambut yang cukup panjang tidak
masalah bila menguraikannya karena rambutnya tertutup jilbab. Kemudian untuk
wanita yang rambutnya sangat panjang, saya (penulis) memaparkan 3 (tiga) buah
tindakan, yaitu:
1.
Pertama: Memanjangkan hijabnya
sampai belakang duburnya, karena sepengetahuan penulis bahwa rambut kepala
wanita tidaklah lebih panjang melebihi bagian duburnya.
2.
Kedua: Menggulung rambut di atas
kepalanya sehingga nampak seperti Punuk Unta dengan tujuan bagian atau ujung
rambutnya tidak kelihatan.
3.
Ketiga: Memotong rambut sehingga
rapi dan aurat pun tertutup dengan menta’ati kaidah aturan memotong rambut
kepala bagi wanita.
Memotong rambut kepala tidak ada
nash shahih yang mengharamkannya, sama halnya dengan tidak ada dalil yang
melarang memanjangkan rambut kepala bagi seorang wanita. Adapun tentang
memotong rambut kepala ada beberapa hal yang harus dijelaskan sebagai berikut.
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah
beliau mengatakan,
“Para istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memotong rambut mereka, hingga panjangnya seperti al-wafrah.”
(HR. Muslim 320).
Al-wafrah adalah rambut yang panjangnya sampai daun telinga, namun
tidak melebihi daun telinga. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 4:4).
An-Nawawi menukil keterangan
al-Qodhi Iyadh:
“Mereka (para istri
Nabi) melakukan hal itu setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan bukan ketika beliau masih hidup… itulah yang pasti. Tidak mungkin kita
berprasangka bahwa mereka melakukan hal itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam masih hidup.” (Syarh Shahih Muslim an-Nawawi, 4:5).
Kemudian an-Nawawi juga menegaskan,
“Hadis ini
merupakan dalil bolehnya memangkas rambut bagi wanita.” (Syarh Shahih
Muslim, an-Nawawi, 4:5).
Berdasarkan hadis di atas, potong rambut bagi wanita
hukumnya boleh, sebagaimana yang disimpulkan an-nawawi. Hanya saja, para ulama
memberikan batasan lain, sebagai berikut:
Pertama, tidak
boleh ditujukan untuk menyerupai model rambut wanita kafir atau wanita fasik,
seperti artis dan semacamnya. Jika ada mode rambut yang itu berasal dari orang kafir atau gaya
seorang artis, maka tidak boleh ditiru.
Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang meniru
suatu kaum maka dia termasuk kaum itu.” (HR. Abu daud, Ibn Abi Syaibah dan
dishahihkan al-Albani)
Tentu saja kita tidak ingin dikatakan sebagai bagian dari
orang jelek atau bahkan orang kafir, karena rambut kita meniru rambut mereka.
Kedua, tidak
boleh menyerupai laki-laki. Potongan rambut yang umumnya menjadi ciri
laki-laki, tidak boleh ditiru wanita. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,
beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melaknat
lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki.” (HR. Bukhari 5435).
Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memotong rambut mereka setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat. Ini memberikan pelajaran kepada kita bagaimana seorang istri berusaha
berhias dan menampakkan kondisi paling menarik bagi suaminya. Jangankan model
rambut yang menjadi mahkota kecantikan bagi wanita, bahkan syariat melarang
wanita melakukan puasa sunah, tanpa seizin suami sementara suaminya berada di
rumah. Itu semua dalam rangka mewujudkan keharmonisan antara suami-istri.
PENUTUP
Makna dari hadits riwayat imam Muslim tentang makna dan kandungannya, maka penulis menyarankan kita menambah referensi kajian kita dengan menelaah kitab-kitab syarah yang menyarah kitab Shohih muslim, ada Syarah Imam Nawawi, Syarah imam Suyuthi, Imam Ibnu Al-Atsir An-Nihayah, Al-Dibaaj 'ala Muslim, Imam al-baghowi juga mengutip penjelasan hadits ini dalam Syarah sunnah-nya, imam Ibnu hajar pun demikian dalam Fathul-Baari-nya.
Dan kesemua ulama tersebut sama sekali tidak ada yang meributkan punuk unta, selain punuk yang terbuat dari kain, sorban, rambut palsu, dan bahan-bahan lainnya, selama itu memang rambut asli dan memang harus mengumpulkannya, mirip atau tidak mirip punuk unta, tidak diributkan. Meskipun ada yang mempermasalahkan jika itu rambut asli, tapi dengan penyebutan "Tazyiinan wa tashonnu'an" (pamer cantik, dibuat-buat biar dibilang cantik".
Malah tidak sedikit ulama yang menafsirkan tentang prilaku buruk si wanita arena memang sejak awal redaksi hadits tersebut menceritakan perangai buruk seorang wanita yang berpakaina tapi telanjang.
Wallahu Ta’ala A’lam
Makna dari hadits riwayat imam Muslim tentang makna dan kandungannya, maka penulis menyarankan kita menambah referensi kajian kita dengan menelaah kitab-kitab syarah yang menyarah kitab Shohih muslim, ada Syarah Imam Nawawi, Syarah imam Suyuthi, Imam Ibnu Al-Atsir An-Nihayah, Al-Dibaaj 'ala Muslim, Imam al-baghowi juga mengutip penjelasan hadits ini dalam Syarah sunnah-nya, imam Ibnu hajar pun demikian dalam Fathul-Baari-nya.
Dan kesemua ulama tersebut sama sekali tidak ada yang meributkan punuk unta, selain punuk yang terbuat dari kain, sorban, rambut palsu, dan bahan-bahan lainnya, selama itu memang rambut asli dan memang harus mengumpulkannya, mirip atau tidak mirip punuk unta, tidak diributkan. Meskipun ada yang mempermasalahkan jika itu rambut asli, tapi dengan penyebutan "Tazyiinan wa tashonnu'an" (pamer cantik, dibuat-buat biar dibilang cantik".
Malah tidak sedikit ulama yang menafsirkan tentang prilaku buruk si wanita arena memang sejak awal redaksi hadits tersebut menceritakan perangai buruk seorang wanita yang berpakaina tapi telanjang.
Wallahu Ta’ala A’lam
No comments:
Post a Comment