Makalah
Pengaruh Penerapan Hukuman Terhadap Kemandirian Siswa Dalam Belajar
A. Pengertian Hukuman, Disiplin dan
Mandiri
Hukuman adalah vonis dari pengadilan
terhadap
seseorang yang terbukti bersalah (Purwadarminta, kamus umum bahasa Indonesia:1991). Pembentukan disiplin diri merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai dari keluarga (orang tua). Dalam kehidupan masyarakat secara umum, metode yang paling sering digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan pemberian hukuman.
seseorang yang terbukti bersalah (Purwadarminta, kamus umum bahasa Indonesia:1991). Pembentukan disiplin diri merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai dari keluarga (orang tua). Dalam kehidupan masyarakat secara umum, metode yang paling sering digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan pemberian hukuman.
Hal yang sama dilakukan juga oleh
sebagian besar orang tua ataupun guru dalam mendidik anak-anak atau muridnya.
Kerugiannya adalah disiplin yang tercipta merupakan disiplin jangka pendek, artinya
anak hanya menurutinya sebagai tuntutan sesaat, sehingga seringkali tidak
tercipta disiplin diri pada mereka. Hal tersebut disebabkan karena dengan
hukuman anak lebih banyak mengingat hal-hal negatif yang tidak boleh dilakukan,
daripada hal-hal positif yang seharusnya dilakukan.
17
Dampak lain dari penggunaan hukuman
adalah perasaan tidak nyaman pada anak karena harus menanggung hukuman yang
diberikan orang tuanya jika ia melanggar batasan yang ditetapkan. Tidak
mengherankan jika banyak anak memiliki persepsi bahwa disiplin itu adalah
identik dengan penderitaan. Persepsi tersebut bukan hanya terjadi pada
anak-anak tetapi juga seringkali dialami oleh orang tua mereka. Akibatnya tidak
sedikit orang tua membiarkan anak-anak “bahagia” tanpa disiplin. Tentu saja hal
ini merupakan suatu kekeliruan besar, karena di masa-masa perkembangan
berikutnya maka individu tersebut akan mengalami berbagai masalah dan
kebingungan karena tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri.
Disiplin adalah proses pelatihan
pikiran dan karakter, yang meningkatkan kemampuan untuk mengendalikan diri
sendiri, dan menumbuhkan ketaatan atau kepatuhan terhadap tata tertib atau
nilai tertentu (Andrias Harefa, menjadi manusia pembelajar). Disiplin di sini
dimaksudkan cara kita mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat
diterima kelompok. Tujuan utamanya adalah memberitahu dan menanamkan pengertian
dalam diri anak tentang perilaku mana yang baik dan mana yang buruk, dan untuk
mendorongnya memiliki perilaku yang sesuai dengan standar ini. Dalam disiplin,
ada tiga unsur yang penting, yaitu hukum atau peraturan yang berfungsi sebagai
pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi pelanggaran peraturan itu, dan
hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik (Dr. Martin Leman, disiplin anak:2000).
Mandiri adalah suatu sikap dimana
seseorang terbebas dari sifat ketergantungan dari pihak luar. Berkenaan dengan
sikap mandiri ini maka motivasi adalah salah satu cara bagaimana membentuk
seseorang bisa menjadai mandiri. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat
diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak
akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Motivasi ada dua, yaitu motivasi
Intrinsik dan motivasi ektrinsik.
1) Motivasi Intrinsik. Jenis
motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan
orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
2) Motivasi Ekstrinsik. Jenis
motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena
adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan
demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
B. Hal-Hal Yang Melatar Belakangi
Adanya Hukuman Dan Ganjaran (Penghargaan)
Untuk anak yang masih dalam usia pra
sekolah, yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan dan pengertian dalam
disiplin. Seorang anak yang masih usia pra sekolah ini, diberi hukuman hanya
kalau memang terbukti bahwa ia sebenarnya mengerti apa yang diharapkan dan
terlebih bila ia memang sengaja melanggarnya. Sebaliknya bila saat ia
berperilaku sosial yang baik, ia diberikan hadiah, biasanya ini akan
meningkatkan keinginannya untuk lebih banyak belajar berperilaku yang baik.
Ada berbagai cara yang umum
digunakan oleh orang tua untuk mendisiplinkan anak-anak dan remaja, antara lain
:
1. Disiplin Otoriter
Disiplin Otoriter adalah bentuk
disiplin yang tradisional yang berdasar pada ungkapan kuno “menghemat cambukan
berarti memanjakan anak”. Pada model disiplin ini, orang tua atau pengasuh
memberikan anak peraturan-peraturan dan anak harus mematuhinya. Tidak ada
penjelasan pada anak mengapa ia harus mematuhi, dan anak tidak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya tentang aturan itu. Anak harus
mentaati peraturan itu, jika tidak mau dihukum. Biasanya hukuman yang diberikan
pun agak kejam dan keras, karena dianggap merupakan cara terbaik agar anak
tidak melakukan pelanggaran lagi di kemudian hari. Seringkali anak dianggap
sudah benar-benar mengerti aturannya, dan ia dianggap sengaja melanggarnya,
sehingga anak tidak perlu diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya lagi. Jika
anak melakukan sesuatu yang baik, hal ini juga dianggap tidak perlu diberi
hadiah lagi, karena sudah merupakan kewajibannya. Pemberian hadiah malahan
dipandang dapat mendorong anak untuk selalu mengharapkan adanya sogokan agar
melakukan sesuatu yang diwajibkan masyarakat.
2. Disiplin yang lemah
Disiplin model ini biasanya timbul
dan berkembang sebagai kelanjutan dari disiplin otoriter yang dialami orang
dewasa saat ia anak-anak. Akibat dahulu ia tidak suka diperlakukan dengan model
disiplin yang otoriter, maka ketika ia memiliki anak, di didiknya dengan cara
yang sangat berlawanan. Menurut teknik disiplin ini, anak akan belajar
bagaimana berperilaku dari setiap akibat perbuatannya itu sendiri. Dengan
demikian anak tidak perlu diajarkan aturan-aturan, ia tidak perlu dihukum bila
salah, namun juga tidak diberi hadiah bila berperilaku sosial yang baik. Saat
ini bentuk disiplin ini mulai ditinggalkan karena tidak mengandung 3 unsur
penting disiplin.
3. Disiplin Demokratis
Disiplin jenis ini, menekankan hak
anak untuk mengetahui mengapa aturan-aturan dibuat dan memperoleh kesempatan
mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak
adil. Walaupun anak masih sangat muda, tetapi daripadanya tidak diharapkan
kepatuhan yang buta. Diupayakan agar anak memang mengerti alasan adanya
aturan-aturan itu, dan mengapa ia diharapkan mematuhinya. Hukuman atas
pelanggaran yang dilakukan, disesuaikan dengan tingkat kesalahan, dan tidak
lagi dengan cara hukuman fisik. Sedangkan perilaku sosial yang baik dan sesuai
dengan harapan, dihargai terutama dengan pemberian pengakuan sosial dan pujian.
Adapun penerapan tipe-tipe disiplin
ini memberi dampak yang cukup nyata bedanya. Pengaruh penerapan disiplin ini
pada anak, meliputi beberapa aspek, misalnya :
1. Pengaruh pada perilaku
Anak yang mengalami disiplin yang
keras, otoriter, biasanya akan sangat patuh bila dihadapan orang – orang
dewasa, namun sangat agresif terhadap teman sebayanya. Sedangkan anak yang
orang tuanya lemah akan cenderung mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan
hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin
yang demokratis akan lebih mampu belajar mengendalikan perilaku yang salah dan
mempertimbangkan hak-hak orang lain.
2. Pengaruh pada sikap
Baik anak yang dibesarkan dengan
cara disiplin otoriter maupun dengan cara yang lemah, memiliki kecenderungan
untuk membenci orang yang berkuasa. Anak yang diperlakukan dengan cara otoriter
merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang tuanya
lemah merasa bahwa orang tua seharusnya memberitahu bahwa tidak semua orang
dewasa mau menerima perilakunya. Disiplin yang demokratis akan menyebabkan
kemarahan sementara, tetapi kemarahan ini bukanlah kebencian. Sikap-sikap yang
terbentuk sebagai akibat dari metode pendidikan anak cenderung menetap dan
bersifat umum, tertuju kepada semua orang yang berkuasa.
3. Pengaruh pada kepribadian
Semakin banyak anak diberi hukuman
fisik, semakin anak menjadi keras kepala dan negativistik. Ini memberi dampak
penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk, yang juga memberi ciri khas dari
anak yang dibesarkan dengan disiplin yang lemah. Bila anak dibesarkan dengan
disiplin yang demokratis, ia akan mampu memiliki penyesuaian pribadi dan
penyesuaian sosial yang terbaik.
Persepsi yang sering keliru adalah
pengertian istilah pemberian hadiah. Kadang orang tua beranggapan bahwa
memberikan hadiah selalu berupa memberi mainan, permen, coklat, atau hadiah
lain yang berupa benda. Sebenarnya hadiah juga dapat berupa bukan benda,
misalnya berupa pengakuan atau pujian pada anak. Para orang tua yang
menggunakan cara disiplin demokratis, tidak mau banyak memberi hadiah berupa
benda. Mereka khawatir hal ini akan memanjakan anak atau takut cara ini
dianggap sebagai bentuk penyuapan yang merupakan teknik disiplin yang buruk.
Pelanggaran berupa bentuk ringan
dari ketidaktaatan pada aturan atau perbuatan yang keliru sangat sering terjadi
pada masa prasekolah. Pelanggaran ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama,
ketidaktahuan anak bahwa perilakunya itu tidak baik atau tidak dibenarkan. Anak
mungkin saja sudah diberi tahu berulang kali dan ia pun hafal kata-kata
aturannya itu, tetapi ia tidak mengerti konsep yang dikandung dari aturan itu,
dan kapan ia harus menerapkannya. Sebagai contoh, anak bisa mengerti bahwa
mencuri adalah tidak boleh, tetapi ia belum tentu tahu bahwa mencontek juga
termasuk mencuri.
Hal kedua yang sering juga menjadi
penyebab anak melanggar adalah anak belajar bahwa sengaja tidak patuh dalam hal
yang kecil-kecil umumnya akan mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada
perilaku yang baik. Jadi kadang anak yang merasa diabaikan, demi menarik
perhatian orang tuanya sengaja berbuat salah dengan harapan akan memperoleh
perhatian lebih. Dan ketiga, pelanggaran dapat disebabkan oleh kebosanan. Bila
anak tidak memiliki kegiatan untuk mengisi waktu luang, maka kadangkala anak
ingin membuat kehebohan. Atau kadang bisa juga ia hendak menguji kekuasaan
orang dewasa dengan melihat seberapa jauh ia dapat melakukan sesuatu tanpa
dihukum.
4. Anak yang lebih besar
Bagi anak yang lebih besar, yang
sudah masuk usia sekolah, disiplin berperan penting dalam perkembangan moral.
Disiplin bagi anak yang lebih besar ini menjadi hal yang lebih serius lagi.
Teknik disiplin yang pada usia pra sekolah tampaknya efektif, tidak bisa
dijalankan tetap dengan cara yang sama terus menerus. Bagi anak yang sudah
diusia sekolah ini, disiplin yang diterapkan juga harus disesuaikan dengan
tingkat perkembangannya. Hal yang perlu lebih diperhatikan antara lain adalah :
Anak yang lebih dewasa, semakin lama
semakin membutuhkan penjelasan mengenai mengapa hal tertentu tidak boleh
dilakukan, dan mengapa hal lain baik untuk dilakukan. Anak semakin mampu
memahami konsep tentang perilaku yang baik, dan wawasannya juga semakin meluas.
Sebagai akibatnya, tuntutan atas penjelasan berbagai hal semakin besar pula.
Pemberian ganjaran seperti pujian
atau perlakuan khusus bila anak melakukan sesuatu yang baik, mempunyai nilai
yang positif dalam mendorong anak berusaha berbuat lebih baik lagi lain kali.
Akan tetapi pemberian pujian dan perlakuan istimewa pun harus disesuaikan
dengan tingkat perkembangan anak, jangan dari kecil hingga besar sama saja.
Pemberian hukuman juga harus
dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Hukuman juga harus bersifat
lebih mendidik, bukan malah menimbulkan kebencian dan rasa dipermalukan.
Hukuman yang diberikan harus proporsional dengan tingkat pelanggaran, dan anak
harus dibuat mengerti mengapa hal yang dilakukan itu salah.
Konsistensi dalam memberikan hukuman
atau ganjaran pun penting. Untuk kesalahan yang sama berikan hukuman yang sama,
dan sebaliknya juga untuk hal yang baik. Apa yang benar dan baik hari ini, akan
tetap benar esok hari. Jangan apa yang hari ini benar dan baik, besoknya
menjadi hal yang dianggap salah dan patut dihukum. ( Majalah ‘Anakku’ ed.4, thn
2000)
Ada beberapa hal pokok yang dapat
diacu sebagai dasar merespon setiap perilaku dalam rangka pendidikan disiplin,
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Berkelanjutan
Pendidikan merupakan suatu proses
berkelanjutan, artinya disiplin tidak hanya diberikan setelah anak masuk
sekolah atau setelah masa remaja, tetapi harus sudah dilatih sejak anak baru
dilahirkan ke dunia ini. Sejak anak membutuhkan kedekatan dengan orang dewasa,
membutuhkan kasih sayang orang dewasa. Orang tua dapat memulai mendidik
disiplin dengan menunjukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang
baik dan mana yang jelek. Sebagai contoh agar anak dapat disiplin dalam buang
air, maka orang tua harus secara berkelanjutan dan konsisten dalam membersihkan
dan mengganti pakaian sang bayi, ia di kenalkan pada situasi yang menyenangkan
dan tahu apa yang harus dilakukan dengan semestinya sejak dini. Dengan
perlakuan orang tua yang demikian akan meringankan tugas pada masa berikutnya
karena anaknya tidak akan mengenal ngompol.
Selain itu pendidikan disiplin tidak
hanya ditekankan pada waktu anak membuat perilaku yang tidak diinginkan atau
pada waktu anak gagal mencapai harapan orang tua. Perilaku-perilaku yang
diinginkanpun perlu (meski tidak harus terus-menerus), mendapatkan pengakuan,
persetujuan atau penghargaan. Jika anak sejak bayi telah dilatih untuk
berdisiplin maka pada masa remaja ia akan memiliki disiplin diri yang cukup
sehigga akan mampu menahan segala godaan yang datang dari teman maupun
lingkungan sekitarnya.
b. Autoritatif
Pendidikan disiplin sebaiknya tidak
dilakukan dengan cara yang terlalu otoriter, tetapi juga tidak terlalu
memperbolehkan semuanya (permisif). Cara yang tepat dalam pendidikan disiplin
bagi remaja disebut dengan istilah moderatnya autoritatif : fleksibel, tetapi
bila perlu tegas. Dalam menerapkan cara disiplin yang permisif (dapat dikatakan
sebagai mendidik tanpa disiplin) cenderung menghasilkan anak remaja yang manja,
semena-mena, anti sosial dan cenderung agresif. Sebaliknya, disiplin yang keras
yang terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan
berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja.
Hal ini dapat membuat remaja menjadi
seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi
hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif bahkan ada pula yang pada
akhirnya melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Hubungan dengan lingkungan
sosial akan lebih berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih
berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa
menjadi tunduk. Ada pula yang menimbulkan pembelotan, hal ini terjadi terutama
bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif
(cara) lain untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar. Contoh: remaja dilarang
untuk keluar bermain, tetapi di dalam rumah ia tidak melakukan apa-apa dan
tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka.
c. Beri Batas-Batas Yang Jelas
Batas-batas tentang boleh atau tidak
boleh haruslah jelas, misalnya kapan anak boleh bermain, dimana dan dengan
siapa sehingga anak tidak mengganggu orang lain dan menghindarkan anak dari
kecelakaan. Sejak masa kanak-kanak orang tua harus sudah memberikan
batasan-batasan tersebut. Misalnya: anak boleh mengambarkan dengan pensil warna
dikertas-kertas, dipapan yang telah ditentukan, tetapi tidak boleh di buku
pelajaran kakaknya, buku ayah atau ibu, dan tidak boleh menggambar di tembok.
Penting bagi orang tua untuk
mengingat bahwa batasan dan fasilitas yang diberikan oleh orang tua, hendaknya
memenuhi kriteria tertentu: diperlukan, masuk akal, diberikan dengan penuh
ketulusan dan kebaikan hati, dan secara konsisten sesuai kematangan anak.
Fasilitas dianggap diperlukan bila anak dapat mencapai kemajuan yang lebih baik
jika adanya fasilitas tersebut. Batas dan fasilitas dianggap masuk akal bila
memenuhi pertimbangan kesehatan dan keadilan. Kebaikan hati adalah keinginan
dalam memenuhi kebutuhan anak untuk berkembang seoptimal mungkin tanpa
melampaui kemampuan anak mengontrol diri. Fasilitas yang konsisten dengan
kematangan umum anak berarti tergantung pada perkembangan kecerdasan dan
kematangan anak. Makin berkembang kematangan anak akan makin dapat diperluas
batas-batas dan fasilitas. Dengan kata lain pada remaja luasnya batas tersebut
sangatlah ditentukan kematangan yang telah dicapai oleh remaja tersebut.
d. Konsisten dan Fleksibel
Setelah batas-batas ditentukan, maka
orang tua harus mengupaya kesepakatan dengan anaknya untuk saling mematuhi apa
yang telah ditentukan. Walau demikian, batas-batas yang ditentukan ini harus
terus direvisi sesuai dengan perkembangan anak dan anak telah mencapai remaja
maka penentuannya harus mengikut sertakan masukan dari remaja. Dengan cara
tersebut diharapkan dapat membantu remaja untuk lebih cepat mengembangkan
tanggung jawab atas disiplin diri.
Meski batas-batas telah ditetukan
ada kalanya keadaan memaksa dan batas tersebut terpaksa dilanggar. Dalam
kondisi ini orang tua perlu segera memberitahu dan menjelaskan pada remaja
bahwa keadaan tersebut dapat dipahami dan diterima oleh orang tua namun bukan
berarti bahwa batasan yang telah ditentukan tidak berlaku lagi. Sikap dan
komunikasi orang tua semacam ini akan dapat mengurangi rasa berdosa, penyesalan
bahkan rasa sakit hati yang tidak diperlukan.
e. Menjelaskan Secara Lengkap
Terkadang seorang anak berbuat
sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua dengan alasan karena ia
tidak tahu. Untuk mengatasi hal tersebut maka orang tua sangat perlu untuk
mengupgrade diri sehingga mampu menjelaskan secara lengkap apa yang boleh
dilakukan atau tidak boleh dilakukan, mengapa hal itu boleh/tidak, apa
dampaknya jika dilakukan/tidak dilakukan, dan sebagainya. Janganlah menganggap
bahwa anak selalu mempunyai pertimbangan sematang orang tua (meski harus diakui
ada remaja yang jauh lebih matang cara pandang/pikir dari orang tuanya).
Kesalahan yang seringkali dilakukan orang tua adalah terlalu menganggap anaknya
sudah mampu untuk mempertimbangkan segala sesuatu. Apalagi pada masa remaja,
sang anak cenderung terlihat sangat mandiri. Banyak orang tua yang lupa bahwa
anak remajanya masih membutuhkan penjelasan dan bimbingan dari orang tua, meski
mereka terlihat enggan untuk mengakuinya. Dalam hal ini, justru orang tua lah
yang seharusnya segera sadar dan mempertimbangkan bahwa anaknya masih belum
tahu dan sesegera mungkin mengajarkan hal-hal tersebut kepada remaja tersebut.
Bukankah orang tua yang seharusnya lebih memahami anak-anaknya secara rinci.
f. Berlatih
Orang tua hendaknya mengarahkan anak
untuk mengembangkan pola-pola kebiasaan yang baik. Kebiasaan-kebiasaan baik
tersebut harus sudah dilatih terus-menerus sejak usia dini, misalnya anak
dibiasakan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, mematuhi jadwal belajar
dan bermain, tidur dan bangun pagi secara teratur, dan sebagainya. Hal ini
perlu, sebab setiap kebiasaan dan pola perilaku yang terbentuk pada masa
kanak-kanak akan banyak mempengaruhi kebiasaannya kelak ketika dia dewasa.
g. Hukuman
Hukuman yang mendidik adalah hukuman
yang menyadarkan pihak yang bersalah dalam hal ini remaja, bahwa hal yang baru
saja terjadi hendaknya tidak diulangi karena hal tersebut tidak disetujui orang
tua. Hukuman haruslah dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
perbuatan yang melanggar batasan-batasan yang ditetapkan. Hukuman tidak harus
selalu menyakitkan, dan jangan dijadikan sebagai luapan kemarahan atau
penyakuran emosi dari si penghukum (orang tua). Jika harus memberikan hukuman, hukumlah
anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak tentang hukuman tersebut. Hukuman
yang terlalu berat akan mengakibatkan anak mendendam, dan bila ia tidak dapat
membalaskan dendamnya akan terjadi pengalihan dalam bentuk kekerasan terhadap
orang lain (tawuran) dan vandalism (mis. Coret-coret, merusak properti orang
lain). Penting diperhatikan dalam pemberian hukuman adalah penjelasan mengapa
anak terpaksa dihukum, hukuman harus dilakukan segera setelah perilaku terjadi,
dan jangan melakukan hukuman fisik, seperti memukul atau menampar, dan
sebagainya terhadap anak-anak.
h. Komunikasi
Dalam kenyataan sehari-hari, banyak
masalah yang berhubungan dengan disiplin sebenarnya dapat diselesaikan dengan
menggunakan komunikasi timbal balik yang efektif antara anak dan orang tua.
Dalam hal ini cara-cara berkomunikasi akan memegang peranan penting dalam
pembentukan disiplin. Komunikasi dalam bentuk sindiran, hinaan, merendahkan
harga diri orang lain hendaknya digunakan seminimal mungkin, bahkan harus
dihindari sama sekali. Anak dan remaja sangatlah peka terhadap hal ini, dan
dapat sakit hati karenanya. Jika cara-cara tersebut yang digunakan untuk
mendisiplinkan anak, cara-cara demikian akan cenderung ditiru dalam hubungan
interpersonal dengan orang-orang lain yang akibatnya dapat merugikan diri sang
anak maupun orang lain.
C. Peranan Guru dalam Membentuk
Kedisiplinan
1. Pengertian Guru
Guru adalah pendidik dan pengajar
pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam
kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang
mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Beberapa
istilah yang juga menggambarkan peran guru, antara lain: Dosen, Mentor dan
Tutor.
Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya
merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Menurut Zakiah
Darajat (1992), tidak sembarangan orang dapat melakukan tugas guru, tetapi
orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan berikut ini yang dipandang mampu
: bertakwa, berilmu, sehat jasmani, dan berkelakuan baik.
2. Peranan Guru dalam Pendidikan
WF Connell (1972) membedakan tujuh
peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan
pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat
setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Peran guru sebagai pendidik
(nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi
bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan
(supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar
anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam
keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih
lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa
yang lain, moralitas tanggung jawab kemasyarakatan, pengetahuan dan
keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan
jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu
tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai
penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak
agar tingkah laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai model atau contoh
bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model
baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau
tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh
masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan bangsa
Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi
oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan
pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan
perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku
pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang
berkaitan dengan tanggung jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum
harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang
sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya,
mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan
pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
Peran guru sebagai pelajar (leamer).
Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan supaya
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya tidak ketinggalan jaman.
Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada
pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga
tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai setiawan dalam
lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang
memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara
langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan insidental.
Peranan guru sebagai komunikator
pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam
pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan
kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai administrator. Seorang
guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator
pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut
bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses
belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang
dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan
sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya
dengan baik.
Efektivitas dan efisien belajar
individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003)
mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang
ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
1) Konservator (pemelihara) sistem
nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2) Inovator (pengembang) sistem
nilai ilmu pengetahuan;
3) Transmitor (penerus)
sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4) Transformator (penterjemah)
sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan
perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5) Organisator (penyelenggara)
terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara
formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral
(kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan dalam pengertian pendidikan
yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner,
mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup
:
1) Guru sebagai perencana (planner)
yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar
mengajar (pre-teaching problems).;
2) Guru sebagai pelaksana
(organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang,
menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana,
di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan
kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik dan humanistik (manusiawi)
selama proses berlangsung (during teaching problems).
3) Guru sebagai penilai (evaluator)
yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan
pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran,
berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya
maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya dalam konteks proses belajar
mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu
sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu
mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar,
melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus
membantu pemecahannya (remedial teaching).
Di lain pihak, Moh. Surya (1997)
mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di
sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran,
penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing
peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam
keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai
pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan
agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang
peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi
pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas
pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
1) Pengambil inisiatif, pengarah,
dan penilai pendidikan;
2) Wakil masyarakat di sekolah,
artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam
pendidikan;
3) Seorang pakar dalam bidangnya,
yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
4) Penegak disiplin, yaitu guru
harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
5) Pelaksana administrasi
pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung
dengan baik;
6) Pemimpin generasi muda, artinya
guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai
generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
7) Penterjemah kepada masyarakat,
yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya
(self oriented), seorang guru berperan sebagai :
1) Pekerja sosial (social worker),
yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
2) Pelajar dan ilmuwan, yaitu
seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan
penguasaan keilmuannya;
3) Orang tua, artinya guru adalah
wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
4) model keteladanan, artinya guru
adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik; dan
5) Pemberi keselamatan bagi setiap
peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan
gurunya.
Dari sudut pandang secara
psikologis, guru berperan sebagai :
1) Pakar psikologi pendidikan,
artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu
mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
2) Seniman dalam hubungan antar
manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki
kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para
peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
3) Pembentuk kelompok (group
builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai
cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
4) Catalyc agent atau inovator,
yaitu guru merupakan orang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat
suatu hal yang baik; dan
5) Petugas kesehatan mental (mental
hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan
mental para peserta didik.
Sementara itu, Doyle sebagaimana
dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran utama guru dalam
pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan
memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan
di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan
proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik
di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik
dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan
sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung
proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan
global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin
kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai
peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih
dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru
di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well
informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh,
berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru
bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika guru tidak memahami mekanisme
dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara
profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari
peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan
profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif.
Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya
secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian
guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga
dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pengajaran
yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan
kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian
yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari
tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedang berlangsung.
3. Fungsi Guru dalam Membentuk
Kedisiplinan Siswa
Daoed Yoesoef (1980) menyatakan
bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas
manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan
tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika,
tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas profesional dari seorang
guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan
nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya
diketahui oleh anak.
Tugas manusiawi adalah tugas-tugas
membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak
dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri,
identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri.
Usaha membantu kearah ini seharusnya
diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik
dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal
ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh
dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak
didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga
mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke
arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat
di mana dia hidup.
Tugas kemasyarakatan merupakan
konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan
melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945
dan GBHN.
Ketiga tugas guru itu harus
dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis.
Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus
mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana
ia bertempat tinggal. Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka
guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa
sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi.
Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik
itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus
mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat,
oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui
cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi
dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian),
dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa
ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda-tanda yang biasanya disebut
rumus-rumus.
Jadi nilai-nilai yang diteruskan
oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, tugas
profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan
sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi
walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru
dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka
pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya sebagai
pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada tiga hal,
yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk mampu
menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam hal ini untuk
mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas professional.
D. Beberapa Bentuk Pola Sikap Siswa
dalam Belajar
Belajar merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku
individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar
perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas, apa
sesungguhnya belajar itu ?
Sebelum membahas tentang pola sikap
siswa dalam belajar alangkah lebih baik kita mengenal dulu apa itu belajar. Di
bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli :
1) Moh. Surya (1997) : “belajar
dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari
pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.
2) Witherington (1952) : “belajar
merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola
respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan
kecakapan”.
3) Crow & Crow dan (195 : “
belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
4) Hilgard (1962) : “belajar adalah
proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya
respons terhadap sesuatu situasi”
5) Di Vesta dan Thompson (1970) : “
belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari
pengalaman”.
6) Gage & Berliner : “belajar
adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”
Dari beberapa pengertian belajar
tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal
ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1) Perubahan yang disadari dan
disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi
merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu
juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam
dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau
keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu
proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi
pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang
Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan
memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan
Psikologi Pendidikan.
2) Perubahan yang berkesinambungan
(kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau
keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan
dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi
pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang
mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika
dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap
dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat
dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.
3) Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang
terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan,
baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang
mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya
dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan
mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan
perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
4) Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi
bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa
sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose
Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual
atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah
mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan
untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip
perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
5) Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru,
individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya,
mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka
mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku
psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan
sebagainya.
6) Perubahan yang bersifat permanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh
dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam
dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan
keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam
diri mahasiswa tersebut.
7) Perubahan yang bertujuan dan
terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar
pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah
maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi
pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin
memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan
yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan
tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki
kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas
dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Perubahan perilaku secara
keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan
hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula
perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang
“Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang
“Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru
menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam
menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin
Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk
:
1) Informasi verbal; yaitu
penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan,
misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.
2) Kecakapan intelektual; yaitu
keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan
menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk
dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan
(discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum.
Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3) Strategi kognitif; kecakapan
individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya.
Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan
mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang
efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran,
sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4) Sikap; yaitu hasil pembelajaran
yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan
dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan
memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa,
didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan
kesiapan untuk bertindak.
5) Kecakapan motorik; ialah hasil
belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Sementara itu, Moh. Surya (1997)
mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
1) Kebiasaan; seperti : peserta
didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata
atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan
bahasa secara baik dan benar.
2) Keterampilan; seperti : menulis
dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu
memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
3) Pengamatan; yakni proses
menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui
indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian
yang benar.
4) Berfikir asosiatif; yakni
berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan
daya ingat.
5) Berfikir rasional dan kritis
yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab
pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
6) Sikap yakni kecenderungan yang
relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau
barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
7) Inhibisi (menghindari hal yang
mubazir).
Apresiasi (menghargai karya-karya
bermutu.
9) Perilaku afektif yakni perilaku
yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang,
benci, was-was dan sebagainya.
Sedangkan menurut Bloom, perubahan
perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi perubahan dalam kawasan
(domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspek-aspeknya.
(lihat tautan ini : Taksonomi Perilaku Menurut Bloom)
A. Pengertian Hukuman, Disiplin dan
Mandiri
Hukuman adalah vonis dari pengadilan
terhadap seseorang yang terbukti bersalah (Purwadarminta, kamus umum bahasa
Indonesia:1991). Pembentukan disiplin diri merupakan suatu proses yang harus
dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu pendidikan disiplin
pertama-tama sudah dimulai dari keluarga (orang tua). Dalam kehidupan
masyarakat secara umum, metode yang paling sering digunakan untuk
mendisiplinkan warganya adalah dengan pemberian hukuman.
Hal yang sama dilakukan juga oleh
sebagian besar orang tua ataupun guru dalam mendidik anak-anak atau muridnya.
Kerugiannya adalah disiplin yang tercipta merupakan disiplin jangka pendek,
artinya anak hanya menurutinya sebagai tuntutan sesaat, sehingga seringkali
tidak tercipta disiplin diri pada mereka. Hal tersebut disebabkan karena dengan
hukuman anak lebih banyak mengingat hal-hal negatif yang tidak boleh dilakukan,
daripada hal-hal positif yang seharusnya dilakukan.
17
Dampak lain dari penggunaan hukuman
adalah perasaan tidak nyaman pada anak karena harus menanggung hukuman yang
diberikan orang tuanya jika ia melanggar batasan yang ditetapkan. Tidak
mengherankan jika banyak anak memiliki persepsi bahwa disiplin itu adalah
identik dengan penderitaan. Persepsi tersebut bukan hanya terjadi pada anak-anak
tetapi juga seringkali dialami oleh orang tua mereka. Akibatnya tidak sedikit
orang tua membiarkan anak-anak “bahagia” tanpa disiplin. Tentu saja hal ini
merupakan suatu kekeliruan besar, karena di masa-masa perkembangan berikutnya
maka individu tersebut akan mengalami berbagai masalah dan kebingungan karena
tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri.
Disiplin adalah proses pelatihan
pikiran dan karakter, yang meningkatkan kemampuan untuk mengendalikan diri
sendiri, dan menumbuhkan ketaatan atau kepatuhan terhadap tata tertib atau
nilai tertentu (Andrias Harefa, menjadi manusia pembelajar). Disiplin di sini
dimaksudkan cara kita mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat
diterima kelompok. Tujuan utamanya adalah memberitahu dan menanamkan pengertian
dalam diri anak tentang perilaku mana yang baik dan mana yang buruk, dan untuk
mendorongnya memiliki perilaku yang sesuai dengan standar ini. Dalam disiplin,
ada tiga unsur yang penting, yaitu hukum atau peraturan yang berfungsi sebagai
pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi pelanggaran peraturan itu, dan
hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik (Dr. Martin Leman, disiplin
anak:2000).
Mandiri adalah suatu sikap dimana
seseorang terbebas dari sifat ketergantungan dari pihak luar. Berkenaan dengan
sikap mandiri ini maka motivasi adalah salah satu cara bagaimana membentuk
seseorang bisa menjadai mandiri. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat
diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak
akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Motivasi ada dua, yaitu motivasi
Intrinsik dan motivasi ektrinsik.
1) Motivasi Intrinsik. Jenis
motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan
orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
2) Motivasi Ekstrinsik. Jenis
motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena
adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan
demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
B. Hal-Hal Yang Melatar Belakangi
Adanya Hukuman Dan Ganjaran (Penghargaan)
Untuk anak yang masih dalam usia pra
sekolah, yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan dan pengertian dalam
disiplin. Seorang anak yang masih usia pra sekolah ini, diberi hukuman hanya
kalau memang terbukti bahwa ia sebenarnya mengerti apa yang diharapkan dan
terlebih bila ia memang sengaja melanggarnya. Sebaliknya bila saat ia
berperilaku sosial yang baik, ia diberikan hadiah, biasanya ini akan
meningkatkan keinginannya untuk lebih banyak belajar berperilaku yang baik.
Ada berbagai cara yang umum
digunakan oleh orang tua untuk mendisiplinkan anak-anak dan remaja, antara lain
:
1. Disiplin Otoriter
Disiplin Otoriter adalah bentuk
disiplin yang tradisional yang berdasar pada ungkapan kuno “menghemat cambukan
berarti memanjakan anak”. Pada model disiplin ini, orang tua atau pengasuh
memberikan anak peraturan-peraturan dan anak harus mematuhinya. Tidak ada
penjelasan pada anak mengapa ia harus mematuhi, dan anak tidak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya tentang aturan itu. Anak harus
mentaati peraturan itu, jika tidak mau dihukum. Biasanya hukuman yang diberikan
pun agak kejam dan keras, karena dianggap merupakan cara terbaik agar anak
tidak melakukan pelanggaran lagi di kemudian hari. Seringkali anak dianggap
sudah benar-benar mengerti aturannya, dan ia dianggap sengaja melanggarnya,
sehingga anak tidak perlu diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya lagi. Jika
anak melakukan sesuatu yang baik, hal ini juga dianggap tidak perlu diberi
hadiah lagi, karena sudah merupakan kewajibannya. Pemberian hadiah malahan
dipandang dapat mendorong anak untuk selalu mengharapkan adanya sogokan agar
melakukan sesuatu yang diwajibkan masyarakat.
2. Disiplin yang lemah
Disiplin model ini biasanya timbul
dan berkembang sebagai kelanjutan dari disiplin otoriter yang dialami orang
dewasa saat ia anak-anak. Akibat dahulu ia tidak suka diperlakukan dengan model
disiplin yang otoriter, maka ketika ia memiliki anak, di didiknya dengan cara
yang sangat berlawanan. Menurut teknik disiplin ini, anak akan belajar
bagaimana berperilaku dari setiap akibat perbuatannya itu sendiri. Dengan
demikian anak tidak perlu diajarkan aturan-aturan, ia tidak perlu dihukum bila
salah, namun juga tidak diberi hadiah bila berperilaku sosial yang baik. Saat
ini bentuk disiplin ini mulai ditinggalkan karena tidak mengandung 3 unsur
penting disiplin.
3. Disiplin Demokratis
Disiplin jenis ini, menekankan hak
anak untuk mengetahui mengapa aturan-aturan dibuat dan memperoleh kesempatan
mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak
adil. Walaupun anak masih sangat muda, tetapi daripadanya tidak diharapkan
kepatuhan yang buta. Diupayakan agar anak memang mengerti alasan adanya
aturan-aturan itu, dan mengapa ia diharapkan mematuhinya. Hukuman atas
pelanggaran yang dilakukan, disesuaikan dengan tingkat kesalahan, dan tidak
lagi dengan cara hukuman fisik. Sedangkan perilaku sosial yang baik dan sesuai
dengan harapan, dihargai terutama dengan pemberian pengakuan sosial dan pujian.
Adapun penerapan tipe-tipe disiplin
ini memberi dampak yang cukup nyata bedanya. Pengaruh penerapan disiplin ini
pada anak, meliputi beberapa aspek, misalnya :
1. Pengaruh pada perilaku
Anak yang mengalami disiplin yang
keras, otoriter, biasanya akan sangat patuh bila dihadapan orang – orang
dewasa, namun sangat agresif terhadap teman sebayanya. Sedangkan anak yang
orang tuanya lemah akan cenderung mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan
hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin
yang demokratis akan lebih mampu belajar mengendalikan perilaku yang salah dan
mempertimbangkan hak-hak orang lain.
2. Pengaruh pada sikap
Baik anak yang dibesarkan dengan
cara disiplin otoriter maupun dengan cara yang lemah, memiliki kecenderungan
untuk membenci orang yang berkuasa. Anak yang diperlakukan dengan cara otoriter
merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang tuanya
lemah merasa bahwa orang tua seharusnya memberitahu bahwa tidak semua orang
dewasa mau menerima perilakunya. Disiplin yang demokratis akan menyebabkan
kemarahan sementara, tetapi kemarahan ini bukanlah kebencian. Sikap-sikap yang
terbentuk sebagai akibat dari metode pendidikan anak cenderung menetap dan
bersifat umum, tertuju kepada semua orang yang berkuasa.
3. Pengaruh pada kepribadian
Semakin banyak anak diberi hukuman
fisik, semakin anak menjadi keras kepala dan negativistik. Ini memberi dampak
penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk, yang juga memberi ciri khas dari
anak yang dibesarkan dengan disiplin yang lemah. Bila anak dibesarkan dengan
disiplin yang demokratis, ia akan mampu memiliki penyesuaian pribadi dan
penyesuaian sosial yang terbaik.
Persepsi yang sering keliru adalah
pengertian istilah pemberian hadiah. Kadang orang tua beranggapan bahwa
memberikan hadiah selalu berupa memberi mainan, permen, coklat, atau hadiah
lain yang berupa benda. Sebenarnya hadiah juga dapat berupa bukan benda,
misalnya berupa pengakuan atau pujian pada anak. Para orang tua yang
menggunakan cara disiplin demokratis, tidak mau banyak memberi hadiah berupa
benda. Mereka khawatir hal ini akan memanjakan anak atau takut cara ini
dianggap sebagai bentuk penyuapan yang merupakan teknik disiplin yang buruk.
Pelanggaran berupa bentuk ringan
dari ketidaktaatan pada aturan atau perbuatan yang keliru sangat sering terjadi
pada masa prasekolah. Pelanggaran ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama,
ketidaktahuan anak bahwa perilakunya itu tidak baik atau tidak dibenarkan. Anak
mungkin saja sudah diberi tahu berulang kali dan ia pun hafal kata-kata
aturannya itu, tetapi ia tidak mengerti konsep yang dikandung dari aturan itu,
dan kapan ia harus menerapkannya. Sebagai contoh, anak bisa mengerti bahwa
mencuri adalah tidak boleh, tetapi ia belum tentu tahu bahwa mencontek juga
termasuk mencuri.
Hal kedua yang sering juga menjadi
penyebab anak melanggar adalah anak belajar bahwa sengaja tidak patuh dalam hal
yang kecil-kecil umumnya akan mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada
perilaku yang baik. Jadi kadang anak yang merasa diabaikan, demi menarik
perhatian orang tuanya sengaja berbuat salah dengan harapan akan memperoleh
perhatian lebih. Dan ketiga, pelanggaran dapat disebabkan oleh kebosanan. Bila
anak tidak memiliki kegiatan untuk mengisi waktu luang, maka kadangkala anak
ingin membuat kehebohan. Atau kadang bisa juga ia hendak menguji kekuasaan
orang dewasa dengan melihat seberapa jauh ia dapat melakukan sesuatu tanpa
dihukum.
4. Anak yang lebih besar
Bagi anak yang lebih besar, yang
sudah masuk usia sekolah, disiplin berperan penting dalam perkembangan moral.
Disiplin bagi anak yang lebih besar ini menjadi hal yang lebih serius lagi.
Teknik disiplin yang pada usia pra sekolah tampaknya efektif, tidak bisa
dijalankan tetap dengan cara yang sama terus menerus. Bagi anak yang sudah
diusia sekolah ini, disiplin yang diterapkan juga harus disesuaikan dengan
tingkat perkembangannya. Hal yang perlu lebih diperhatikan antara lain adalah :
Anak yang lebih dewasa, semakin lama
semakin membutuhkan penjelasan mengenai mengapa hal tertentu tidak boleh
dilakukan, dan mengapa hal lain baik untuk dilakukan. Anak semakin mampu
memahami konsep tentang perilaku yang baik, dan wawasannya juga semakin meluas.
Sebagai akibatnya, tuntutan atas penjelasan berbagai hal semakin besar pula.
Pemberian ganjaran seperti pujian
atau perlakuan khusus bila anak melakukan sesuatu yang baik, mempunyai nilai
yang positif dalam mendorong anak berusaha berbuat lebih baik lagi lain kali.
Akan tetapi pemberian pujian dan perlakuan istimewa pun harus disesuaikan
dengan tingkat perkembangan anak, jangan dari kecil hingga besar sama saja.
Pemberian hukuman juga harus
dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Hukuman juga harus bersifat
lebih mendidik, bukan malah menimbulkan kebencian dan rasa dipermalukan.
Hukuman yang diberikan harus proporsional dengan tingkat pelanggaran, dan anak
harus dibuat mengerti mengapa hal yang dilakukan itu salah.
Konsistensi dalam memberikan hukuman
atau ganjaran pun penting. Untuk kesalahan yang sama berikan hukuman yang sama,
dan sebaliknya juga untuk hal yang baik. Apa yang benar dan baik hari ini, akan
tetap benar esok hari. Jangan apa yang hari ini benar dan baik, besoknya
menjadi hal yang dianggap salah dan patut dihukum. ( Majalah ‘Anakku’ ed.4, thn
2000)
Ada beberapa hal pokok yang dapat
diacu sebagai dasar merespon setiap perilaku dalam rangka pendidikan disiplin,
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Berkelanjutan
Pendidikan merupakan suatu proses
berkelanjutan, artinya disiplin tidak hanya diberikan setelah anak masuk
sekolah atau setelah masa remaja, tetapi harus sudah dilatih sejak anak baru
dilahirkan ke dunia ini. Sejak anak membutuhkan kedekatan dengan orang dewasa,
membutuhkan kasih sayang orang dewasa. Orang tua dapat memulai mendidik
disiplin dengan menunjukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang
baik dan mana yang jelek. Sebagai contoh agar anak dapat disiplin dalam buang
air, maka orang tua harus secara berkelanjutan dan konsisten dalam membersihkan
dan mengganti pakaian sang bayi, ia di kenalkan pada situasi yang menyenangkan
dan tahu apa yang harus dilakukan dengan semestinya sejak dini. Dengan
perlakuan orang tua yang demikian akan meringankan tugas pada masa berikutnya
karena anaknya tidak akan mengenal ngompol.
Selain itu pendidikan disiplin tidak
hanya ditekankan pada waktu anak membuat perilaku yang tidak diinginkan atau
pada waktu anak gagal mencapai harapan orang tua. Perilaku-perilaku yang
diinginkanpun perlu (meski tidak harus terus-menerus), mendapatkan pengakuan,
persetujuan atau penghargaan. Jika anak sejak bayi telah dilatih untuk
berdisiplin maka pada masa remaja ia akan memiliki disiplin diri yang cukup
sehigga akan mampu menahan segala godaan yang datang dari teman maupun
lingkungan sekitarnya.
b. Autoritatif
Pendidikan disiplin sebaiknya tidak
dilakukan dengan cara yang terlalu otoriter, tetapi juga tidak terlalu
memperbolehkan semuanya (permisif). Cara yang tepat dalam pendidikan disiplin
bagi remaja disebut dengan istilah moderatnya autoritatif : fleksibel, tetapi
bila perlu tegas. Dalam menerapkan cara disiplin yang permisif (dapat dikatakan
sebagai mendidik tanpa disiplin) cenderung menghasilkan anak remaja yang manja,
semena-mena, anti sosial dan cenderung agresif. Sebaliknya, disiplin yang keras
yang terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan
berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja.
Hal ini dapat membuat remaja menjadi
seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi
hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif bahkan ada pula yang pada
akhirnya melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Hubungan dengan lingkungan
sosial akan lebih berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih
berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa
menjadi tunduk. Ada pula yang menimbulkan pembelotan, hal ini terjadi terutama
bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif
(cara) lain untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar. Contoh: remaja dilarang
untuk keluar bermain, tetapi di dalam rumah ia tidak melakukan apa-apa dan
tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka.
c. Beri Batas-Batas Yang Jelas
Batas-batas tentang boleh atau tidak
boleh haruslah jelas, misalnya kapan anak boleh bermain, dimana dan dengan
siapa sehingga anak tidak mengganggu orang lain dan menghindarkan anak dari
kecelakaan. Sejak masa kanak-kanak orang tua harus sudah memberikan
batasan-batasan tersebut. Misalnya: anak boleh mengambarkan dengan pensil warna
dikertas-kertas, dipapan yang telah ditentukan, tetapi tidak boleh di buku
pelajaran kakaknya, buku ayah atau ibu, dan tidak boleh menggambar di tembok.
Penting bagi orang tua untuk
mengingat bahwa batasan dan fasilitas yang diberikan oleh orang tua, hendaknya memenuhi
kriteria tertentu: diperlukan, masuk akal, diberikan dengan penuh ketulusan dan
kebaikan hati, dan secara konsisten sesuai kematangan anak. Fasilitas dianggap
diperlukan bila anak dapat mencapai kemajuan yang lebih baik jika adanya
fasilitas tersebut. Batas dan fasilitas dianggap masuk akal bila memenuhi
pertimbangan kesehatan dan keadilan. Kebaikan hati adalah keinginan dalam
memenuhi kebutuhan anak untuk berkembang seoptimal mungkin tanpa melampaui
kemampuan anak mengontrol diri. Fasilitas yang konsisten dengan kematangan umum
anak berarti tergantung pada perkembangan kecerdasan dan kematangan anak. Makin
berkembang kematangan anak akan makin dapat diperluas batas-batas dan
fasilitas. Dengan kata lain pada remaja luasnya batas tersebut sangatlah ditentukan
kematangan yang telah dicapai oleh remaja tersebut.
d. Konsisten dan Fleksibel
Setelah batas-batas ditentukan, maka
orang tua harus mengupaya kesepakatan dengan anaknya untuk saling mematuhi apa
yang telah ditentukan. Walau demikian, batas-batas yang ditentukan ini harus
terus direvisi sesuai dengan perkembangan anak dan anak telah mencapai remaja
maka penentuannya harus mengikut sertakan masukan dari remaja. Dengan cara
tersebut diharapkan dapat membantu remaja untuk lebih cepat mengembangkan tanggung
jawab atas disiplin diri.
Meski batas-batas telah ditetukan
ada kalanya keadaan memaksa dan batas tersebut terpaksa dilanggar. Dalam
kondisi ini orang tua perlu segera memberitahu dan menjelaskan pada remaja
bahwa keadaan tersebut dapat dipahami dan diterima oleh orang tua namun bukan
berarti bahwa batasan yang telah ditentukan tidak berlaku lagi. Sikap dan
komunikasi orang tua semacam ini akan dapat mengurangi rasa berdosa, penyesalan
bahkan rasa sakit hati yang tidak diperlukan.
e. Menjelaskan Secara Lengkap
Terkadang seorang anak berbuat
sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua dengan alasan karena ia
tidak tahu. Untuk mengatasi hal tersebut maka orang tua sangat perlu untuk
mengupgrade diri sehingga mampu menjelaskan secara lengkap apa yang boleh
dilakukan atau tidak boleh dilakukan, mengapa hal itu boleh/tidak, apa
dampaknya jika dilakukan/tidak dilakukan, dan sebagainya. Janganlah menganggap
bahwa anak selalu mempunyai pertimbangan sematang orang tua (meski harus diakui
ada remaja yang jauh lebih matang cara pandang/pikir dari orang tuanya).
Kesalahan yang seringkali dilakukan orang tua adalah terlalu menganggap anaknya
sudah mampu untuk mempertimbangkan segala sesuatu. Apalagi pada masa remaja,
sang anak cenderung terlihat sangat mandiri. Banyak orang tua yang lupa bahwa
anak remajanya masih membutuhkan penjelasan dan bimbingan dari orang tua, meski
mereka terlihat enggan untuk mengakuinya. Dalam hal ini, justru orang tua lah
yang seharusnya segera sadar dan mempertimbangkan bahwa anaknya masih belum
tahu dan sesegera mungkin mengajarkan hal-hal tersebut kepada remaja tersebut.
Bukankah orang tua yang seharusnya lebih memahami anak-anaknya secara rinci.
f. Berlatih
Orang tua hendaknya mengarahkan anak
untuk mengembangkan pola-pola kebiasaan yang baik. Kebiasaan-kebiasaan baik
tersebut harus sudah dilatih terus-menerus sejak usia dini, misalnya anak
dibiasakan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, mematuhi jadwal belajar
dan bermain, tidur dan bangun pagi secara teratur, dan sebagainya. Hal ini
perlu, sebab setiap kebiasaan dan pola perilaku yang terbentuk pada masa
kanak-kanak akan banyak mempengaruhi kebiasaannya kelak ketika dia dewasa.
g. Hukuman
Hukuman yang mendidik adalah hukuman
yang menyadarkan pihak yang bersalah dalam hal ini remaja, bahwa hal yang baru
saja terjadi hendaknya tidak diulangi karena hal tersebut tidak disetujui orang
tua. Hukuman haruslah dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
perbuatan yang melanggar batasan-batasan yang ditetapkan. Hukuman tidak harus
selalu menyakitkan, dan jangan dijadikan sebagai luapan kemarahan atau
penyakuran emosi dari si penghukum (orang tua). Jika harus memberikan hukuman,
hukumlah anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak tentang hukuman tersebut.
Hukuman yang terlalu berat akan mengakibatkan anak mendendam, dan bila ia tidak
dapat membalaskan dendamnya akan terjadi pengalihan dalam bentuk kekerasan
terhadap orang lain (tawuran) dan vandalism (mis. Coret-coret, merusak properti
orang lain). Penting diperhatikan dalam pemberian hukuman adalah penjelasan
mengapa anak terpaksa dihukum, hukuman harus dilakukan segera setelah perilaku
terjadi, dan jangan melakukan hukuman fisik, seperti memukul atau menampar, dan
sebagainya terhadap anak-anak.
h. Komunikasi
Dalam kenyataan sehari-hari, banyak
masalah yang berhubungan dengan disiplin sebenarnya dapat diselesaikan dengan
menggunakan komunikasi timbal balik yang efektif antara anak dan orang tua.
Dalam hal ini cara-cara berkomunikasi akan memegang peranan penting dalam
pembentukan disiplin. Komunikasi dalam bentuk sindiran, hinaan, merendahkan
harga diri orang lain hendaknya digunakan seminimal mungkin, bahkan harus
dihindari sama sekali. Anak dan remaja sangatlah peka terhadap hal ini, dan
dapat sakit hati karenanya. Jika cara-cara tersebut yang digunakan untuk
mendisiplinkan anak, cara-cara demikian akan cenderung ditiru dalam hubungan
interpersonal dengan orang-orang lain yang akibatnya dapat merugikan diri sang
anak maupun orang lain.
C. Peranan Guru dalam Membentuk
Kedisiplinan
1. Pengertian Guru
Guru adalah pendidik dan pengajar
pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam
kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang
mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Beberapa
istilah yang juga menggambarkan peran guru, antara lain: Dosen, Mentor dan
Tutor.
Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya
merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Menurut Zakiah
Darajat (1992), tidak sembarangan orang dapat melakukan tugas guru, tetapi
orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan berikut ini yang dipandang mampu
: bertakwa, berilmu, sehat jasmani, dan berkelakuan baik.
2. Peranan Guru dalam Pendidikan
WF Connell (1972) membedakan tujuh
peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan
pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat
setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Peran guru sebagai pendidik
(nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi
bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan
(supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar
anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam
keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan
dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut
seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa
yang lain, moralitas tanggung jawab kemasyarakatan, pengetahuan dan
keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan
jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu
tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai
penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak
agar tingkah laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai model atau contoh
bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model
baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau
tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh
masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan bangsa
Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi
oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan
pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan
perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku
pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang
berkaitan dengan tanggung jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum
harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai
dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai
pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan
untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
Peran guru sebagai pelajar (leamer).
Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan supaya
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya tidak ketinggalan jaman.
Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada
pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga
tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai setiawan dalam
lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang
memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung
melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan insidental.
Peranan guru sebagai komunikator
pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam
pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya
pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai administrator. Seorang
guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai
administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang
guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam
kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab
administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil
belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Efektivitas dan efisien belajar
individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003)
mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang
ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
1) Konservator (pemelihara) sistem
nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2) Inovator (pengembang) sistem
nilai ilmu pengetahuan;
3) Transmitor (penerus)
sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4) Transformator (penterjemah)
sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan
perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5) Organisator (penyelenggara)
terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara
formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral
(kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan dalam pengertian
pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan
Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang
mencakup :
1) Guru sebagai perencana (planner)
yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar
mengajar (pre-teaching problems).;
2) Guru sebagai pelaksana
(organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang,
menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana,
di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan
kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik dan humanistik (manusiawi)
selama proses berlangsung (during teaching problems).
3) Guru sebagai penilai (evaluator)
yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan
pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran,
berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya
maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya dalam konteks proses
belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi
yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu
mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar,
melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus
membantu pemecahannya (remedial teaching).
Di lain pihak, Moh. Surya (1997)
mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di
sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran,
penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing
peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam
keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai
pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan
agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang
peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi
pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas
pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
1) Pengambil inisiatif, pengarah,
dan penilai pendidikan;
2) Wakil masyarakat di sekolah,
artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam
pendidikan;
3) Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu
menguasai bahan yang harus diajarkannya;
4) Penegak disiplin, yaitu guru
harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
5) Pelaksana administrasi
pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung
dengan baik;
6) Pemimpin generasi muda, artinya
guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai
generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
7) Penterjemah kepada masyarakat,
yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya
(self oriented), seorang guru berperan sebagai :
1) Pekerja sosial (social worker),
yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
2) Pelajar dan ilmuwan, yaitu
seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan
penguasaan keilmuannya;
3) Orang tua, artinya guru adalah
wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
4) model keteladanan, artinya guru
adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik; dan
5) Pemberi keselamatan bagi setiap
peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan
gurunya.
Dari sudut pandang secara
psikologis, guru berperan sebagai :
1) Pakar psikologi pendidikan,
artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu
mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
2) Seniman dalam hubungan antar
manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki
kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para
peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
3) Pembentuk kelompok (group
builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai
cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
4) Catalyc agent atau inovator,
yaitu guru merupakan orang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi
membuat suatu hal yang baik; dan
5) Petugas kesehatan mental (mental
hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan
mental para peserta didik.
Sementara itu, Doyle sebagaimana
dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran utama guru dalam
pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan
memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan
di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan
proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik
di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik
dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan
sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung
proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan
global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin
kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai
peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih
dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru
di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well
informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh,
berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru
bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika guru tidak memahami mekanisme
dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara
profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari
peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan
profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif.
Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya
secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian
guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga
dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pengajaran
yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan
kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil
penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang
bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
3. Fungsi Guru dalam Membentuk
Kedisiplinan Siswa
Daoed Yoesoef (1980) menyatakan
bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas
manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan
tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika,
tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas profesional dari seorang
guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan
nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya
diketahui oleh anak.
Tugas manusiawi adalah tugas-tugas
membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak
dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri,
identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri.
Usaha membantu kearah ini seharusnya
diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik
dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal
ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh
dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak
didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga
mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke
arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat
di mana dia hidup.
Tugas kemasyarakatan merupakan
konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan
melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD
1945 dan GBHN.
Ketiga tugas guru itu harus
dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis.
Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus
mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana
ia bertempat tinggal. Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka
guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa
sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek
komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat
anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin
komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di
dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan
diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya
melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui
suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan),
melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda-tanda yang
biasanya disebut rumus-rumus.
Jadi nilai-nilai yang diteruskan
oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, tugas
profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan
sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi
walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru
dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka
pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya sebagai pembinaan
prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada tiga hal, yaitu
melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk mampu
menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam hal ini untuk
mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas professional.
D. Beberapa Bentuk Pola Sikap Siswa
dalam Belajar
Belajar merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku
individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar
perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas, apa
sesungguhnya belajar itu ?
Sebelum membahas tentang pola sikap
siswa dalam belajar alangkah lebih baik kita mengenal dulu apa itu belajar. Di
bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli :
1) Moh. Surya (1997) : “belajar
dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari
pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.
2) Witherington (1952) : “belajar
merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola
respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan
kecakapan”.
3) Crow & Crow dan (195 : “
belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
4) Hilgard (1962) : “belajar adalah
proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya
respons terhadap sesuatu situasi”
5) Di Vesta dan Thompson (1970) : “
belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari
pengalaman”.
6) Gage & Berliner : “belajar
adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”
Dari beberapa pengertian belajar
tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal
ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1) Perubahan yang disadari dan
disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi
merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu
juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam
dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau
keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu
proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi
pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang
Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan
memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan
Psikologi Pendidikan.
2) Perubahan yang berkesinambungan
(kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau
keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan
dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi
pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang
mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika
dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap
dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat
dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.
3) Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang
terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan,
baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang
mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan
keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari
dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan
perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
4) Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi
bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa
sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose
Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual
atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah
mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan
untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip
perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
5) Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru,
individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya,
mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka
mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku
psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan
sebagainya.
6) Perubahan yang bersifat permanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh
dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam
dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan
keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam
diri mahasiswa tersebut.
7) Perubahan yang bertujuan dan
terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar
pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah
maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi
pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin
memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan
yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan
tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki
kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas
dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Perubahan perilaku secara
keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan
hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula
perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang
“Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang
“Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang
guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan
dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin
Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk
:
1) Informasi verbal; yaitu
penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan,
misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.
2) Kecakapan intelektual; yaitu
keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan
menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk
dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan
(discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum.
Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3) Strategi kognitif; kecakapan
individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya.
Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan
mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang
efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan
strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4) Sikap; yaitu hasil pembelajaran
yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan
dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan
memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa,
didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan
kesiapan untuk bertindak.
5) Kecakapan motorik; ialah hasil
belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Sementara itu, Moh. Surya (1997)
mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
1) Kebiasaan; seperti : peserta
didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata
atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan
bahasa secara baik dan benar.
2) Keterampilan; seperti : menulis
dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu
memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
3) Pengamatan; yakni proses
menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui
indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian
yang benar.
4) Berfikir asosiatif; yakni
berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan
daya ingat.
5) Berfikir rasional dan kritis
yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab
pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
6) Sikap yakni kecenderungan yang
relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau
barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
7) Inhibisi (menghindari hal yang
mubazir).
Apresiasi (menghargai karya-karya
bermutu.
9) Perilaku afektif yakni perilaku
yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang,
benci, was-was dan sebagainya.
Sedangkan menurut Bloom, perubahan
perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi perubahan dalam kawasan
(domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspek-aspeknya.
(lihat tautan ini : Taksonomi Perilaku Menurut Bloom)
No comments:
Post a Comment