PENTINGNYA
PROGRAM PENDIDIKAN ANTI KEKERASAN
Perilaku kekerasan semakin hari
semakin keliatan
dan sungguh sangat mengganggu ketenteraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya, tidak mustahil kita sebagai bangsa akan menderita rugi oleh karenanya. Kita akan menuai akibat buruk dari maraknya perilaku kekerasan di masyarakat kita baik dilihat dari kacamata nasional maupun internasional.
dan sungguh sangat mengganggu ketenteraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya, tidak mustahil kita sebagai bangsa akan menderita rugi oleh karenanya. Kita akan menuai akibat buruk dari maraknya perilaku kekerasan di masyarakat kita baik dilihat dari kacamata nasional maupun internasional.
Saat
ini kita sebagai bangsa sudah dituding oleh beberapa Negara lain sebagai sarang
teroris, terlepas dari benar tidaknya tudingan itu. Dalam era global seperti saat ini
arus Informasi, orang, produk, jasa, amat sangat bebas, tidak bisa dibendung
lagi. Keadaan ini juga akan mendorong suburnya perilaku kekerasan dalam
masyarakat kita. Melalui arus informasi, produk, jasa, yang bebas itulah
pesan-pesan kekerasan ikut masuk ke dalam sistem kehidupan masyarakat kita
secara tidak sadar, bagaikan aliran darah dalam tubuh kita: mengalir dan
beredar tanpa henti, tetapi tak pernah kita sadari.
Perilaku kekerasan tidak mungkin
terjadi dengan tiba-tiba. Sese-orang menampilkan perilaku itu merupakan hasil
belajar juga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika demikian halnya,
pendidikan kita harus peduli terhadap upaya untuk mencegah perilaku kekerasan
secara dini melalui program pendidikan agar budaya damai, sikap toleransi,
empati, dan sebagainya dapat ditanamkan kepada peserta didik semenjak mereka
berada di tingkat pendidikan pra sekolah maupun pada tingkat pendidikan dasar.
Upaya pencegahan kekerasan melalui program pendidikan amat penting, jika kita
mengacu hasil Penelitian Komisi Carnigie untuk Pencegahan Konflik yang
Mematikan baru-baru ini. Komisi itu menyimpulkan hasil penelitiannya: (1)
berbagai bentuk konflik yang mematikan bukan tidak mungkin untuk dapat
dihindarkan; (2) kebutuhan untuk mencegah conflik yang mematikan semakin urgen;
dan (3) pen-cegahan konflik yang mematikan adalah sangat mungkin untuk dapat
dilakukan. Namun, persoalan yang sering dihadapi dalam pencegahan konflik yang
kemudian berakibat munculnya berbagai bentuk kekerasan ialah dibiarkannya
konflik itu terjadi tanpa ada upaya pencegahan yang bersifat kultural,
edukatif, dan pedagogis. Dunia ini dalam keadaan bahaya bukan karena adanya
kelompok orang tertentu melakukan berbagai kekerasan, tetapi justru disebabkan
oleh orang-orang yang tahu adanya berbagai kekerasan tetapi tidak melakukan
pencegahan apapun.
Dunia pendidikan sangat memungkinkan
untuk membudayakan pemecahan konflik yang akhirnya dapat mencegah perilaku
kekerasan. Secara teoritik ada banyak cara untuk memecahkan konflik seperti:
menyerah begitu saja dengan segala kerendahan hati, melarikan diri dari
persoalan yang mengakibatkan konflik, membalas musuh dengan ke-kuatan dan
kekerasan yang jauh lebih dahsyat, menuntut melalui jalur hukum, dsb. Cara-cara
tersebut sering tidak efektif, dan selalu ada yang menjadi korban. Saat ini ada
gerakan pemecahan konflik yang kemudian sering disebut dengan Alternative
Dispute Resolution (ADR). Dalam perkembangannya, ADR kemudian juga lebih
populer disebut dengan conflict resolution (Resolusi Konflik). Bentuk-bentuk
Resolusi Konflik inilah yang perlu kita jadikan sebagai program pendidikan
integratif agar para siswa sebagai calon pewaris dan generasi penerus tata
kehidupan masyarakat memiliki budaya damai dan mampu menegakkan perilaku anti
kekerasan. Hanya melalui generasi penerus yang mampu menegakkan budaya damai dan
anti kekerasanlah kita akan berhasil membangun masyarakat masa depan yang bisa
tumbuh secara beradab dan demokratis. Sebaliknya generasi penerus yang tidak
mampu melakukan resolusi konflik akan terdorong ke kawasan kehidupan masyarakat
yang anarkis dan dalam jangka panjang masyarakat yang demikian itu akan
terisolir dari percaturan global.
Berbagai bentuk resolusi konflik
yang dapat diintegrasikan dalam program pendidikan antara lain: (1) negosiasi;
(2) mediasi; (3) arbitrasi; (4) mediasi-arbitrasi; (5) konferensi komunitas;
dan (6) mediasi teman sebaya. Negosiasi merupakan salah satu bentuk resolusi
konflik yang dapat dilakukan dengan cara berdiskusi antara dua atau lebih orang
yang terlibat dalam konflik kekerasan dengan tujuan utama untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan.
Mediasi adalah sebuah proses yang
bersifat sukarela dan rahasia yang dilakukan oleh pihak ketiga yang netral
untuk membantu orang-orang mendiskusikan dan menegosiasikan persoalan-persoalan
yang amat pelik dan sulit agar tercapai kesepakatan sehingga konflik yang
membawa berbagai bentuk kekerasan dapat dihindarkan. Langkah-langkah penting
dalam mediasi sebagai salah satu bentuk dari resolusi konflik ialah:
pengumpulan informasi, perumusan masalah secara jelas dan jernih, pengembangan
berbagai opsi, negosiasi, dan formulasi kesepakatan. Bentuk Resolusi Konflik
ketiga, arbitrasi, merupakan proses yang mana pihak ketiga yang netral
mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan konflik setelah ia mengkaji berbagai
bukti dan mendengarkan berbagai argumen dari kedua belah pihak yang sedang
terlibat dalam konflik.
Selanjutnya, mediasi-arbitrasi
merupakan sebuah hibrid yang mengkombinasikan antara bentuk mediasi dan
arbitrasi. Artinya, sejak awal para pihak yang terlibat dalam konflik mencoba
untuk melakukan pemecahan melalui mediasi, tetapi jika tdak ditemukan
pemecahannya kemudian mereka menempuh cara arbitrasi. Bentuk Resolusi Konflik
yang kelima, konferensi komunitas, merupakan dialog yang terstruktur dengan
melibatkan semua unsur dan atau anggota masyarakat (pelaku kekerasan, korban,
keluarga, para sahabat, dsb.) yang mengalami dan menderita akibat dari dari
adanya kekerasan kriminal. Semua unsur masyarakat saling memberi kesempatan
untuk menyatakan posisinya, persaannya, persepsinya, terhadap kekerasan yang
sudah terjadi, dan bagaimana usul mereka untuk menyelesaikan persoalan yang ada
itu.
Akhirnya, mediasi teman sebaya
merupakan salah satu bentuk resolusi konflik di mana dalam proses itu anak-anak
muda bertindak sebagai mediator untuk membantu menyelesaikan pertikaian di
antara teman-teman sejawat mereka. Dalam konteks ini para siswa dapat dilatih
dan diawasi oleh guru atau orang dewasa lain dalam melaksanakan perannya
sebagai mediator. Dengan cara ini para siswa dapat mem-pelajari budaya damai dan
budaya anti kekerasan dengan cara melibatkan diri dalam persoalan riil yang
dihadapi oleh para rekan sejawat mereka.
Persoalannya sekarang ialah,
bagaimana caranya mendidikkan berbagai bentuk resolusi konflik itu kepada para
siswa kita. Untuk ini kita dapat menggunakan pendekatan simulasi, bermain
peran, observasi, penangaanan kasus, dsb. agar para siswa memiliki pengalaman
nyata untuk melibatkan diri dalam menyosialisasikan gerakan anti kekerasan.
Dengan demikian, untuk mendidik siswa agar bisa menerima gagasan dan perilaku
anti kekerasan, berbagai bentuk resolusi konflik sebagaimana dijelaskan di atas
perlu diperkenalkan kepada siswa dalam proses belajar-mengajar di kelas secara
terintegrasi, bukan secara monolitik.
Hal ini berarti kita tidak perlu kurikulum
secara khusus. Cukup guru memiliki kepedulian dan komitmen yang kuat untuk
menanamkan sikap dan nilai anti kekerasan kepada para siswa dengan cara
mengajarkan berbagai bentuk resolusi konflik secara terintegrasi dengan bidang
studi yang relevan dengan sifat dan hakikat resolusi konflik yang
dikonseptualisasikan. Dengan cara ini maka dalam jangka panjang para siswa kita
memiliki nilai dan perilaku anti kekerasan. Kalau hal ini dapat dilaksanakan,
sungguh kita sebagai bangsa akan memiliki generasi penerus yang santun dalam
berperilaku, cerdas dalam berpikir, dan toleransi terhadap berbagai pluralitas
yang ada di Republik ini.
No comments:
Post a Comment